Monday, February 16, 2015

Mecari Aku(Kamu)


Meranum, sajak itu mengalir ke dalam alur-alur kehidupan. Berbicara tentang hujan, badai, guntur, dan matahari. Dan semua berkata-kata dengan gemulai jemari, menyapa sambil berteriak tinggi, “apakah kamu sama dengan aku?”

Lewat gontaian daun-daun yang bersimpuh bersama angin-angin sore, kita hanya  terdiam dalam kebekuan. Tak ada kata yang terlontar dari kita. Tak ada. Kita hanya menyepuh. Malu. kenapa waktu sebegitu singkat dan mengapa jalan yang kita lalui sebegitu pedek. Kita hanya melihat, kemudian mata kita bertemu—Kita melontarkan arah.

Tumpukan buku yang tersimpan di dedaunan sore, membuka tirai dari sekian banyak kata-kata yang melambai. Itu, yang membuatku malu akan kamu yang selalu giat membaca aksara. Iya, kadang aku merasa tak pantas untuk sekedar melihat parasmu yang anggun itu—itupun mencuri-curi pandang.

Lepas penat yang menyerubungi, dan kau mulai beranjak meninggalkan aku. Sendiri. Pada ruangan sepi perpustakaan dengan para mahasiswa lain. Beberapa waktu aku menunggu, mungkin kau akan kembali karena buku bacaanmu tergeletak di atas meja bersama buku catatan, yang tak kumengerti isinya. Tapi, tak jua aku melihat kamu, tempat duduk itu masih kosong, tak ada yang mengisi. Dan puplen yang tak bertuan terpaku di atas meja, seperti terpakunya aku, ‘Dimanakah kamu?’

Aku berdiri, beranjak meninggalkan meja yang sedari tadi kudiami: untuk mengagumimu. Rak-rak buku perpustakaan berjajar rapi dan dipenuhi bemacam-macam buku. Pada pencarian itu, tak jua aku melihat kamu, tapi aku tak lengah, kulanjutkan langkah, melihat beberapa ruang yang tersekat buku untuk menemukan kamu.

Keringat yang mulai menetes dan napas mulai mengempis, aku lelah. Tak mudah menemukan kamu di tempat yang luas seperti ini, ditambah banyak mahasiswa yang berlalu lalang menenteng buku. Namun mengapa aku sebodoh ini? Mengapa ada kerinduan yang terselip di dada ketika aku tak bisa lagi melihat kamu yang dari tadi berada di hadapanku?
Kukembali pada meja yang aku diami dengan gusar. Namun, ketika kuayunakan langkah, seseorang menepak pundakku dan bertanya, “kenapa kamu mencari aku?”


Note: sekedar hibuaran, hanyalah fiktif belaka.

Cinta Syuhada

pohon
Kubuka lembaran kabut yang masih terbenam di kala fajar. Aku mematung bersama jemari-jemari yang mengering. Di tanah ini, akan kutampahkan keringat sampai darah mengalir terhunus ribuan peluru, martir, bom molotop, dan apapun itu.

Lembayung kuning mengempis di masjid Al-Aqsa, tempat kiblat pertama umat muslim. “Bersiap, tentara Israel menyerang melalui tank!” seru Komondan Pasukan, Ahmed Al-Ghazali, lelaki setengah baya keturunan suku kurdi.

Kami langsung siap siaga dengan senapan dan peluru yang menyampai di badan kami. Israel bengis, yang telah menindas kaum muslim yang tak berdosa, merampas tanah-tanah para nabi, dan sekarang menbredeli masjid Al-Aqs hingga menjadi milik mereka sepenuhnya. Dulu masjid ini terbelah menjadi dua. Sebelah untuk ibadah kaum Yahudi, dan sebelah lagi untuk muslim.

“DOOORRR...DOOORRR...DOOORRR” suara tank israel menghantam persembunyian kami di bawah tanah. Aku tergopoh-gopoh meninggalkan terowongan yang mulai goncang.

Sekelebat aku berlari menuju sisa-sisa bangunan yang berserakan tak terautur akibat serangan Israel tempo hari. Kami menghadap masjid Al-Aqsa yang di kerumuni oleh tentara Israel. Meraka sudah menghancurkan sebagian sudut masjid Al-Aqsa dengan alat berat untuk dijadikan kuil Solomon, yang konon kuilnya nabi Sulaiman. kami tak bisa diam melihat kemungkaran di hadapan kami, yang telah merusak tempat hijrahnya Rasullulah Saw., salah satu tempat suci umat Islam.

“Tembak!!” suara komandan Ahmed menderu kencang. Kami langsung melaksanakan tugas.

Tembakan demi tembakan dilesatkan ke kerumunan tentara Irael. Dua orang tentara Israel terkapar di tanah dengan darah yang mengalir. Balasan dari Israel lebih ganas menyerang kami, persenjataan mereka lebih canggih, tapi kami tak gentar menegakan kalimat Tauhid. Kami ingin syuhada dan bertemu dengan para kekasihMu di syurga.

Aku merangsek maju ke depan, kutembak tentara israel yang bersembunyi di balik bongkahan bangunan. Tembakan itu menyarasar tepat dibahu salah seorang tentara Zionis, kelihatannya jatuh, dan nampak lagi. Mudah-mudahan dia tewas, karena tewasnya orang-orang Zionis itu tak sebanding dengan pembantaian umat islam di negeri-negeri muslim oleh tangan-tangan kafir yang tak suka dengan Islam. Temanku, Jaber, ikut merangsek kedepan.

“Allah selalu bersamamu Akhi” sergahnya sambil memegang bahuku
Syukran, semoga kita dalam lindungan Allah dan menempatkan kita dengan kekasihNya di surga kelak” timpalku dengan pelan
Kami tersenyum sesaat dan terus merangsek, memukul mundur israel yang makin kalap.
“Blaggg....” tempat di sebelah kami mengepul, bom jatuh dari udara, untung kami terhalang tembok yang cukup kokoh sehingga tak mengenai jaber dan aku.

Desingan bom dari kapal drone Israel menghantam kami, beberapa orang brigade  kami terkapar. Semoga mereka mati syahid dan menjadi syuhada. Kematian mereka membakar semangatku, membara.

Agaknya pertempuran ini lebih dahsyat dibandingkan dengan pertempuran Dunia ke dua, tiap hari kami harus angkat senjata ketika Israel mengusik dengan seenaknya. Dan negara inipun, Palestina, tinggal sepetak lagi. Israel telah merebut tanah kami dan membelah-belah setiap jengkal tanah menjadi tempat tinggal, pemukiman penduduk mereka.

Tembakan demi tembakan mendera kami bagaikan limpahan air. Terus menerus. Sementara peluru kami mulai menipis dan beberapa orang telah kehabisan peluru. Namun tak pasrah begitu saja, kami mengambil batu dan melemparkannya ke tank-tank Israel. Walau terlihat percuma, atas pertolongan Allah, satu tank Israel roboh berkeping-keping oleh hanya satu lemparan batu.

Di tanah ini, keajaiban bak menjadi kebiasaan. Kuasa Allah terlihat dengan mata telanjang, pernah satu ketika saat bulan ramadhan, kami bertempur dengan tentara Israel, keadaan kami sudah terjepit yang memaksa kami bersembunyi di antara puing-puing bangunan. Entah mengapa, saat digeledah tempat persembunyian kami oleh tentara Israel tak ada yang satupun tertangkap, padahal tentara Israel lalu lanlang disamping kami.

“Allahuakbar! Allahuakbar! Allahuakbar!” Jaber roboh, dadanya tertembak peluru. Kupegang tubuhnya erat.

Matanya telah sayu tapi mukanya menggambarkan kegembiraan. Kegimbiraan akan bertemu dengan pemilik jagat raya, yang telah memberikan cintaNya kepada kami dalam ikatan akidah. Lantunan Ayat Al-Quran mengalun membasahi bibirnya.

“Ucap syhadat, semoga Allah selalu disisimu akhi” kupandu mengucap sayahadat. Napasnya kemabng kempis. Dan beberapa batang  kata tiba-tiba meluncur dari lisannya,
“Kita adalah makhluk lemah yang hanya berpaku pada cintaNya. Usir penjajah Israel itu dari tanah kita. Kita merdeka!” suaranya lemah dan semakin lemah. Hilang.

Rangkaian kata itu membuatku terbelagak. Kupandangi muka sahabatku itu yang telah pergi bertemu Sang Ilahi. Mataku melihat tentara Israel yang semakin ganas mengebom kami. Kuletakan jasad Jaber dan kuambil beberapa batu pasri, kulemparkan namun tak mengenai tentara Israel malah tidak sampai. Kucabo lagi, berkali-kali, tapi hasilnya nihil.

“Mundur!!!” teriak komandan Ahmed yang melihat pasukannya kalang kabut.

Aku membalikan badan, namun rasanya sulit aku masih ingin bertarung dengan tangan kosong. Aku hanya ingin segera bertemu dengan Sang Maha Cinta, Lillahi Rabi. Kulangkahkan kakiku berlari menjauhi lokasi pertempuran menuju beberapa terowongan yang masih utuh bersama brigade yang lain.


Namun, ketika aku sedang berlari, ada getar yang menerpa tubuhku dan membuat pandangnku gelap. Seketika gelap. Tubuhku terasa terlempar beberapa kilometer. Mengapa dengan aku? Kugerakan tubuhku namun tak bergerak. Sulit. Dan mengapa tubuhku menjadi kaku. Seketika komandan Ahmed mendekat seraya berkata,”ucapkan syahadat wahai saudaraku.”