Thursday, December 18, 2014

Pelukan di Atas Motor


Hari ini kebetulan saya pulang malam dari kosan teman di Geger Kalong Girang. Kosan saya di Cipaku. Jarak yang cukup jauh dan memakan waktu hampir 35 menit bila berjalan kaki, dan malam ini saya berjalan kaki. Kendaraan sudah lenggang di jalan Geger Kalong, hanya beberapa saja yang terlintas. Para grobak nasi goreng bertebaran di pinggir jalan. Gerobak dengan bentuk dan tipe sama, bahkan rasanyapun sama, tak berbeda jauh. Dan para tukang nasi—warteg—sudah pada tutup. SMM DT (mini mart) pun sama, sudah gelap.

Namun bukan itulah ini yang saya ingin ceritakan. Kala perjalan pulang dan ketika mata melihat motor yang melintas atau yang diam, ada sesuatu yang mengganjal dihati. Entah. Padahal  saya dan anda pasti sudah sering dan tak asing menyaksikan motor melintas di depan mata. Keheranan saya ini mendorong untuk komentar dan menuliskan beberapa paragraf dalam tulisan ini.

Sudah menjadi sesuatu yang biasa, bila seseorang perempuan dibondeceng oleh laki-laki. Perbuatan ini tidak melanggar norma dan nilai di masyarakat, sebagai contohnya tukang ojek yang siapa saja, tua muda, digaetnya. Tapi yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana jika dua orang yang belum menikah, boncengan motor, lalu yang dibonceng—biasanya perempuan—memeluk erat yang membonceng. Rapat tanpa sekat dan dadanya menempel pada punggung yang membonceng.

Tak jadi persoalan jika seseorang yang dibonceng perempuan oleh lelaki yang belum mahram dalam keadaan mendesak. Tentu dengan batas kewajaran, tidak menempel bagai lem. Nah begitu pun dengan malam ini. Lalu lalang motor berisi dua pasang wajah manusia yang mudah-mudah mahramnya mendekap dan merangkul. Pembonceng merasa tak masalah bila yang dibonceng menyasar tubuhnya dalam sebuah dekapan, atau mungkin si pembonceng malah senang.

Memang saya juga berpengalaman bonceng membonceng terkhusus waktu SMA, yang manakala saya selalu membawa motor, walaupun tak sampai ke sekolah, karena motor saya bodong. Ada rasa tersendiri ketika saya membonceng teman wanita, apalagi sampai memeluk karena takut jatuh. pelukan itu beraralasan dan kadang ada rasa sesal tersendiri sampai sekarang. Kenapa saya berani mengajaknya? Jujur waktu SMA saya tidak pernah pacaran, karena toh yang saya sering lihat orang yang boncengan itu orang yang pacaran, yang mana antara mereka berdua tidak memiliki hubungan sah secara agama.

Hal yang membuat saya Ironi, dekapan diatas motor itu lalu lalang di depan sebuah pesantren yang dipimpin oleh AA Gym: Daarut Tauhid. Pelajaran yang dapat diambil, tak semua orang yang deket pesantren itu ternyata soleh. Banyak juga yang ingkar dan lalai.

Perjalanan berlanjut. Kaki masih bergelut dalam langkah. Para tukang ojek terlingat melamun dengan tatapan kosong pada sebuah TV yang berukuran 14 Inchi yang diletakan dipojok bangunan—pos. Tv itu bersiarkan Film barat yang entah judulnya apa, sempat saya liahat, orang botak besar dengan otot jadi (Baca: Kuat) pada kedua tangannya, yang mirip dengan salah satu pemeran utama Fast Furious. Sebuah siratan yang dapat ditangkap dari semua wajah tukang ojek itu: lelah menunggu penumpang, sedangkan para penumpangnya hampir semua punya motor.

Pada belokan ke arah cipaku, sekitar beberapa ratus meter, dua orang beradu di bawah pohon, dekat sisi tembok. Sepi. Mulutnya menganga bicara pelan sedangkan badannya saling berhadapan. Mereka masih muda. Saya rasa saya lebih tua dibanding mereka. Apa yang mereka lakukan? Kenapa mereka berdua semalam ini? Entah, saya hanya berjalan lurus, berharap sebentar lagi sampai kosan. Karena kaki saya pegal dan ingin saya selonjorkan.

Pada kelokan gang hanya hening yang saya rasakan. Kemudian beberapa tangga serta turunan curam beralaskan tembok berhasil dilewati. Disanalah beberapa kamar berdiri—kosan—yang salah satunya kamar saya. Nampak lenggang dan beberapa lampu telah mati. Mungkin mereka sudah terlelap dalam mimpi dan mungkin beberapa sedang sibuk mengerjakan tugas kuliah atau belajar untuk UAS besok.

Saya ambil kunci pintu di dalam tas, karena saya tukut jatuh jika disimpan di saku. Apalagi kelemahan saya sering lupa. Pintu terbuka dan saya buka sandal. Malam makin tak bersuara dan tiada angin yang bicara. Maka saya tutup pintu dan biarlah engsel pintu yang brbicara pada mereka: malam dan angin.
Ditulis pada 17/12/2014

Terimakasih Sahabat Hadits Line. Jangan Lupa Komentarnya

Terimakasih telah membaca artikel berjudul Pelukan di Atas Motor yang ditulis oleh Hadits Line (Hermawan Setiawan) Komentar sahabat sangat memotivasi penulis.

0 comments:

Post a Comment