Langit menangis sore ini. Merdunya
dercikan hujan kalah dengan suara hiuangan
motor yang bising. Mentari nampak redup di ufuk langit sebelah barat. Kami bertiga
tergopoh-gopoh ke sebuah terminal. Sebuah terminal kecil dan kusam yang berada
di sebelah utara UPI: termial Ledeng.
“Gak makan dulu?” aku menunjuk ke
sebuah wateg yang terkenal murah, warteg Bahari namanya.
“Nanti telat, benar lagi sore”
seru Jihad
“Iya wan, nanti aja” Feisal
menguatkan
Dengan menahan perut kosong keroncongan.
Akhirnya kami terus melibas hujan menuju tempat terminal.
Suara Bus damri sudah
menyela-nyela memanggil kami. Tapi, terlihat kosong dari kejauhan. Untung belum berangkat. Ada yang
menghawatirkan dari bus damri itu. lihatlah kacanya yang dekil seperti tak
pernah dilap. Mungkin hanya air hujan yang mau mengelapnya. Lihatlah bagian
tubuh Bus Damri itu, berkarat hebat ibarat ibu-ibu lansia yang memaksakan
jalan. Terdapat sebauh gambar disana yang bertuliskan “Oky Jelly Drink,
minuman.....”. Papan iklan. Lihatlah muka Damri bagian depan, kaca cembung yang
besar sudah menyusut dan kaca spionnya nampak lelah karena selalu menghadap ke
belakang.
Tak menunggu lama, kami langsung
naik ke bus damri. Satu persatu kaki kami melangkah. Suara dntakan terdengar
akibat sentuhan sepatu dengan ubin damri. Kami mencari-cari tempat duduk yang
nyaman dan nggak basah. Hujan kali
ini membuat damri bocor. Platfom damri yang menggunakan triplek sudah tak
karuan letaknya. Besi penghalang di
bagian atas yang langsung bersentuhan dengan hujan telah retak-retak.
Kami bertiga duduk tepat di
bagian tengah badan damri. Kursi di depan kami telah basah, begitu juga dengan
di belakang kami. Kursi basah itu jig jag,
karena tempat bocornya tak beraturan.
Disana, hanya aku sendiri yang
berbeda tujuan. Temanku, Jihad dan Feisal mereka mudik. Sedangkan aku pergi ke Pasar
Baru untuk membeli sesuatu. Rahasia. Rencananya mereka berdua akan turun dulu di Pasar Baru jika waktu
memungkinkan. Dengan tujuan akan ke Vamosh—toko
busana muslim—untuk mengambil barang pesanan, karena Jihad pembisnis. Dia jadi resseler produk dari Vamosh.
Beberapa menit menunggu hingga damri
itu penuh. Di sela-sela menunggu keberangkatan damri. Perut sudah tak kuasa
memanggil-manggil minta diisi. Aku mencoba mengajak kedua temanku itu untuk
makan dulu. Menggeleng. Mereka menolak dengan alasan takut ketinggalan damri. Tepat
di samping damri itu ada grobak somay. Dengan sedikit perdebatan, akhirnya kami
bertiga sepakat membeli somay. Uang lima ribuan dikumpulkan. Jihad turun. Lima menit
berselang, dia kembali dengan tiga bungkusan plastik. Kami langsung melahapnya.
Kursi sudah terisi semua. Damri berangkat.
Suara parau hujan terkalahkan oleh bisingan damri. Suara itu persis seperti
suara truk tahun 70 atau 80an. Jalannya meronta menembus hujan. Suara pekikan
akibat gesekan besi yang sudah longgar terdengar. Dalam damri itu terkadang menyerebak
bau karet yang menyebabkan enek pada ulu hati.
Damri menembus rimbunan
perjalanan. Macet. Salah satu destinasi perjalanan sore itu. sudah menjadi
kebiasaan di beberapa ruas jalan di bandung pada sore hari macet. Kemcacetan sudah
bukab hal tabu seperti halnya korupsi yang melanda ini dari generasi ke
generasi. “susuah mengurai macet”
mungkit itulah sahutan dari para pejabat.
Hampir satu jam kami duduk di
kursi plastik dalam bus damri. Waktu menunjukan hampir pukul empat sore.
“Wah bang, kalo sampe sana jam 4
kemungkinan toko Vamosh udah tutup, kayanya ktia langsung aja ke Leuwi Panjang”
meyakinkan
“Ah,” kecewa, “Iya gak papa, sok aja we di lanjutin. Urang ge da sebentar paling,”
“Iya gara-gara telat tadi
berangkatnya wat” sela Feisal yang ada di pojok dekat jendela. Dia asyik dari
tadi mengamati hujan.
“Iya, tadi lambat sih” aku
menguatkan
“Eh kan tadi nungguin ente. Ente tadi
asyik aja maen laptop. Di hayu-hayu
ge”
“Tadi pan ngurusin dulu Stand GIF had, pan cek urang hayu”
Feisal diam, karena dia yang
mengkoordinir GIF. GIF adalah singkatan dari Geography Islamic Fair. Sebuah acara
bedah buku dan talkshow dengan penulis ternama yang menulis 99 Cahaya di langit
Eropa, Hanus Rais. Dan juga, Founder Great Muslimah Indonesia, Febrianti
Almeera. Acara akan digelar tanggal 13 Desember, tepat minggu depan.
“jadi engke mah ulah telat geura” lanjutku
Semua diam beberapa saat. Jihad mengalihkan
pembicaraan pada topik lain. Kami cair lagi. Satu belokan lagi Pasar Baru
terlihat. Bus damri tetap stagnan dalam kecepatan 40-50 km per jam. Suara menggerungnya
tetap terdengar. Namun ada janggal dengan damri ini, yaitu ongkosnya naik
seribu menjadi Rp. 4.000. Pasti ini
gara-gara ulah pemerintah menaikan BBM. Transportasi publik pun ikut-ikutan naik
dan yang menjadi korban adalah kita Masyrakat. Sudahlah.
Dalam jangka dua tahun ongkos
damri naik satu kali lipat. Harga asal ongkos damri adalah Rp. 2000, mungkin
pada tahun 2008 hanya Rp.1000. Anehnya, berapapun harga BBM naik, ongkos Damri naik
kisaran Rp. 1000.
Damri berhenti pelan meinggir. Aku
pamit pada dua orang sahabatku yang duduk tenang.
“Duluan nya”
“sip”
Dan aku turun mataku menatap pada
gedung bertingkat. Itulah Pasar baru. Pasar semi modern. Kakiku melangkah
mnyebrangi ruas jalan. Sedangkan hujan telah berhenti. Aku menuju ke gerbang
depan pasar. Ku saksikan hanya segerombolan orang yang lalu lalang menenteng di
lengan kanan. Entah apa itu. aku ragu. Tapi aku memberanikan diri untuk masuk
bersama fajar lampu yang menyingsing dia atap pertokoan.
Catatan: Kesamaan Tokoh dan
Tempat Disengaja. J
Damri Hari Ini, Beratap Bocor dan Tua Dok. Pribadi |
0 comments:
Post a Comment