Friday, January 23, 2015

Dua Puluh Tahun

Awan Ilalang
(detaazzahra.wordpress.com)
Dua puluh tahun, itulah umurku. Dan semenjak itu aku tak tahu kapan aku bangkit dari keterpurukan. Aku hanya memelas sesekali pada angin yang menggoyangkan pohon-pohon yang rimbun. Aku hanya berucap sesekali pada lantunan hujan yang tak mau turun. Aku bisu terpatri dalam besi yang berkarat dan terpacung pada lilin yang meleleh. Aku itu adalah kosong.

Jangan panggil itu, karena lantas kau tahu hidup tak semudah yang dibayangkan. Hidup seperti jemari tangan yang melabai yang senantiasa bergerak kesana-kemari namun memiliki keterbatasan dalam segala hal. Hidup bukanlah untuk menyesali tapi untuk berbuat penyesalan. Dan andaikala lemah jangan salahkan takdir, karena kau sendiri yang mengubah nasib menjadi sebuah jurang menganga atas kelakuan yang tak sepantasanya. Kau tahu ini tiada, dan kau hanyalah gemintang bersama angin sore.

Malu tertembus buliran air yang mengambang bersama jemala yang tak kusam diterkam awan. Hidup terus berurai, berlari, bersama waktu yang bergerak tak peduli. Langkah kaki yang gontai dan tenang maka akan terbelakang bersama gelandangan yang mencari uang recehan. Hidup mematri diri dalam dilema fajar yang menyising dikala sore.

“Sudah diam!” kukatakan itu pada dilema yang tak berujung, yang mengegenggam tubuhku dalam buaian semu. Aku menari seperti ombak yang tak lelah berlari-lari bersama mentari ditengah air. Aku tenggelam bersama jenihnya air laut yang membiru dan karang menghunus tubuhku tajam. Aku terbelah serta kuubah lautan menjadi kemerah-merahan. Berdarah.

Labat laun semua terpukau dengan lentikan jemari yang lusuh termakan masa. Masa dimana kita berlari dan tak terkendali. Angin seraya berkata mengiri,”Kemanakah kau pergi?” aku tak menjawab aku hanya melangkah sampai kaki tak bisa lagi berdiri. Aku meronta menuju satu tuju, alam bawah sadar yang telah menuliskan cita-cita dalam cemeti sore. Kau heran mengapa aku lakukan seperti itu, alasanannya, karena aku tak ingin menjadi sampah yang setiap orang bebas menginjak tanpa rasa besalah.

Legam mulutku terbalur pasir yang kemuning di pagi yang masih sesak. Gerimis berbentur bersama awan dan meraka saling menatap, dan berhadap. Satu dentuman kencang keluar, bersuara mendengung bersama ribuan burung yang terbang bebas tak melayang. Aku bersimpuh melawan  cahaya dari dentuman itu, tapi aku kuatkan hingga menyambar-nyambar tubuhku yang mulai gosong termakan buaian kosong.

Sudah, lama-lama itu menyeringai bah potongan daun pisang yang termakan ulat. Aku tertatih sendiri dan aku tak mengapa karena ini pilihanku dalam gelap, saat semua sirna termakan cahaya. Lampu-lampu yang bercahaya hitam menerangkan pandangan yang mulai karam terbawa nostalgia masa lalu. Aku harus beranjak bersama lelah yang hinggap. Aku harus beranjak bersama lanntunan sair yang mulai pudar.

Menyerah, kata yang tak ada dalam mengarungi samudra hidup yang ganas. Lebih ganas daripada badai yang mendera daerah kawasan yang labil peranginan. Aku, tetaplah aku dengan tubuh yang mulai menyut termakan pikiran. Namun hal itu tak bisa kunafikan bahwa aku butuh ketenangan dalam bercengkrama dengan waktu. Membalut-balut faedah yang mulai ditinggal oleh kenangan.

Aku yang tak bisa membenci tanpa dibenci. Aku membeci dengan hati dan mulut terkunci. Kupendam dalam lemari di sebelah hatiku yang deru padam. Hilanglah! Bersama tenaga yang kendur tergusur keringat berkepanjangan. Ruangan ini telah kosong ditinggalkan penghuninya hingga aku terpekur sendiri, tak tahu berbicara pada siapa. Hilanglah! Bersama bintang diangkasa yang tersebar tertata tanpa satupun peduli ketika cahayanya mulai padam. Namun, kuingat kita taklah seperti bintang, kita hanya sekumpulan makhluk dengan analogi-analogi murka. Haus akan darah saudaranya yang tak semuanya seperti itu.

Pelan kita hilang termakan oleh ilalang yang dari pagi sore menyapa dengan nukilan senyum. Tubuhnya bergoyang dengan bahagia. Tak sanggup kumenjawab, karena kau pasti tak akan mendengar. Kau hanyalah sebongakah sanubari kecil ciptaan yang Kuasa, yang memebuhi tempat ini dan membuatnya menjadi damai.

Langkah kaki yang menderu membuatku menengadah dalam sakit. Semua aku, anda, kamu, kita, kalian, dan siapapun itu pasti merasakan sebuah kesakitan yang membuat kita ragu dalam mengarungi apa-apa yang ingin kita raih. Kira semakin saja tak terjawab dari segala jenis pertanyaan yang menukik. Dari setiap jenis derita yang tak malu untuk muncul ke permukaan. Sudah pergi bersama hujan yang mulai mengalun.

Aku membentur tembok, tapi aku tak terhenti untuk melangkah. Aku dongkakan tubuh hingga tanganku menengadah menekan-nekan tembok raksasa seukuran tembok gaza. Dalam kedaaan yang tak terkendali itu kita seperti tsunami yang menerabas apa saja, tanpa perllu merasa sakit . maka tak lagi dapat kumuat kata-kata yang semakin menggumal dalam alam pikiran. Biarlah mereka habis bersama alang rintang yang menjemukan.

Laut membiru bersama sekawanan kapal yang berlayar dari teluk ke teluk hingga semuanya menjadi sebuah catatan yang tak terbahas akhirnya. Dengan malu aku meraih bukit yang semakin saja meninggi, tebujur kaku menembus langit. Akankah semua  layu bersama buaian langkah yang tak dapat tercerna artinya, apakah ini hanyalah sebuah isyarat dari khayalan yang tak kunjung datang? Apakah semua ini hanyalah ilusi dari sekelompok orang yang membenci kehidupan? Lantas, apa yang harus kulakukan.


Rebahkan badan dan menghadap ke kiblat dengan tenang, kita hanyalah makhluk yang lemah dengan segala keterbatasannya. Kita bukan apa, kita lebih kecil dibandingkan dengan debu di alam semesta. Kita bukan siapa-siapa kecuali milik-Nya yang selalu menjaga jiwa-jiwa dan tak segan memberi kenikmatan, walaupun kita lupa untuk bersyukur. 

Tuesday, January 6, 2015

Gadis Bermata Bening


Sore itu langit menyemburat cahaya matahari yang berwarna kekuning-kuningan. Aku melewati gang FPMIPA yang menurun menuju ke arah Daarut Tauhid—Pesantren K.H. Abdulah Gymnastiar. Aku terburu-buru karena sore ini ada pengajian di kosanku, NS. Ditambah dari tadi siang aku belum makan. Lapar terasa menusuk ulu hati dan beberapa kali perutku berseru.

Palang besi telah kulewati dengan merendahkan badan, karena badanku tinggi. Namun ada yang hinggap dalam pandanganku, ketika aku melangkah. Tepat di depan seorang gadis berpakaian tertutup dan longgar berwarna coklat muda berjalan pelan dengan wajah menghadap tanah. Langkahku berhenti seketika. Perasaanku tak menentu. Padahal aku tak mengenalnya, siapa dia? Baru kali ini aku melihat gadis ini, baru pertama kali melihat mukanya bercaya.

Kutahan gejolak ini dan aku beistigfar lirih beberapa kali dalam hati. Aku minggir karena jalanan sangat padat, banyak mahasiswa dan mahasiswi hilir mudik pulang kuliah.

Kulihat, kakinya melangkah anggun. Jilbabnya yang panjang tertiup angin pelan. Sedangkan hijabnya yang berwarna sama menutup dadanya. Pakaiannya rapat.

Sekarang dia tepat melangkah di depanku. Aku menundukan pandangan. Entah mengapa, seketika buku yang kupegang jatuh, “Buuk”. Suara itu mengagetkan semua orang, termasuk dia. Aku langsung mengambilnya dengan agak terburu-buru. Saat mengambil buku itu, tak sengaja aku dongkakan kepala dan dua matanya menatapku halus. Mata kami bertemu. Dia alihkan pandangan aku juga. Matanya bening sebening air yang baru keluar dari mata air, sebening langit kala tiada awan, dan sebening mutiara saat diambil dari laut.

Dia melangkah cepat melewati gerbang kecil besi ke araha FPMIPA UPI. Sementara aku berjalan cepat menuju DT. Dalam ayuhan kakiku itu, wajahnya berkelebat dalam fikiranku. Memang harus aku akui, aku pengagum muslimah yang taat, yang berhijab panjang dan tak sembarang menatap lawan jenis. Hampir setiap hari aku bertemu dengan para muslimah yang berpakaian seperti ini. Tapi dia ini beda. Perasaanku bergolak hebat.

Waktu mengalir begitu deras. Hampir 3 tahun, aku tak pernah melihat gadis bermata bening itu. Tak pernah. Itulah pertama, dan satu kenangan dari sekian kenangan yang sulit kuhapus. Mungkin dia sudah mengikrarkan janji dengan orang lain di atas sebuah pernikahan, aku mengira. Namun, aku tak berharap jauh di pertemukan kembali. Aku sadar betul, aku hanya manusia pongah yang masih lalai menjalankan perintah agama. Kurasa pertemuan itu pertama dan terakhir. Semoga Allah melindungi keistiqomahannya.

Note: Imajinasi.

Lari dari Masalah


Ketika masalah datang melanda dan kita berada diujung kelelahan. Ada dua yang menjadi pilihan, kita menghadapi masalah atau kita lari dari masalah itu. Inilah yang dihadapi saya sekarang. Saya merasa mengalami banyak masalah khsusunya di organisasi. Faktor utama yang membuat masalah saya menganga lebar, adalah kemalasan saya yang kerap kali muncul, yang membuat pekerjaan menjadi terabaikan: menunda-nunda. Dalam tulisan ini saya merenung dan semoga menginspirasi.

Hidup tidak akan terlepas dari masalah, dan bila hidup tidak ada masalah berarti harus ditanyakan kehidupannya? Apakah ia benar-benar hidup atau hanya sekedar menampang nama dikehidupan? Saya sempat berpikiran begini, andai kalau hidup tanpa masalah pasti akan senang, tapi apakah benar seperti itu?

Inilah yang namanya hidup. Kita harus berani menghadapinya dengan kondisi apapun. Berani, kata yang seyogyanya tertanam dalam insan masing-masing. Ketika kita pergi dari masalah maka tak lain kita adalah pengecut. Kita adalah bajingan yang pengen enaknya saja. Menghidari masalah dan memberi masalah kepada orang lain.

Pelarian dari masalah ini berpengaruh besar terhadap cita-cita kita. Ketika kita ingin menjadi seorang guru teladan, maka kita harus mengajar. Kemudian timbulah masalah baik itu siswa kepada kita, guru, atau siswa kepada siswa lagi. Kalau tidak digeluti dengan kesabaran dan keikhlasan tak ayal kita pasti menghilang, menjauhi masalah itu. Lalu impian kita sirna.

Para pembisnis yang maha kaya pun tak lepas dari berbagai masalah. Bahkan seorang Nabi pun yang dijamin oleh Allah, tak lepas dari masalah. Jika dipikir-pikir masalah yang kita hadapi sekarang hanyalah masalah kecil namun kita menganggap hal itu sulit karena kita enggan menghadapinya. Kita ingin selalu berada di zona nyaman. Kita tak ingin keluar karena sudah enak.

Pepatah mengatakan pelaut yang ulung tidak lahir dari lautan yang tenang. Hal itu berarti orang-orang yang hebat tidak lahir dari orang-orang yang tenang-tenang saja, biasa-biasa saja, yang kalau ada masalah pergi. Tapi orang-orang yang berani menghadapi masalah dengan apapun resikonya. Karena masalah yang kita hadapi sesunggunya mendewasakan kita juga.

Disisi lain kita juga harus menyandarkan masalah kita kepada Allah. Akhirnya, kita harus sedari setiap masalah ada solusinya. Jangan taku dan jangan cemas. Hadapi saja.

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa):` Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir `.(QS. 2:286)

Monday, January 5, 2015

Kenangan


Waktu sudah lewat begitu jauh, dari saat itu. Saat satu kelas tertawa bersama mendengarkan lagu slank. Memang suaramu bagus, sangat bagus melebihi suara sumbang kami. Tapi kelakuanmu ketika bernyanyi membuat kami terpingkal-pingkal bukan kepalang. Tangan kirimu selalu menyentuh bagian vital dan kadang-kadang kau dekatkan ke hidung: jorok. Dan tnagan kananmu dengan santai menggam handphone bermerek china.

Kelakuan konyol kita begitu terasa setelah lama tak melakukan itu lagi: kenangan. Kita berteriak, berprilaku seenaknya. Futsal mungkin gambaran representatif perlakuan kita. Hampir setiap kelas kosong—tidak ada guru—kita selalu berada di lapangan, bermain futsal dengan kelas lain. Walaupun sudah dekat dengan UN.

Kelas yang bergambar pantai itu mengeisi relung kita, dan beberapa graviti kata yang acak-cakan. Tak mengerti artinya apa. Jangan salahkan kami karena bukan kami yang menggambar, tapi kakak kelas kami satu tahun yang lalu. pertimbangannya kenapa tak dihapus,adalah kami sangat khawatir tidak bisa menggambar sebagus gambar pantai itu. Dan bila kau orang luar, bukan kelas kami, datang dia langsung mengatakan, “gambar apa ini gak jelas, gaje”

Kabut mulai menyeringai kemudian terbang terhempaskan angin dan cahaya matahari memaksanya melakukan proses evavotranspirasi. Jalan yang halus terbasuh air hujan tadi pagi, licin. Pikiranku berulang, kembali 2 tahun yang lalu, bersama dengan kalian, sahabatku. Ketika kuputar video atas rekaman-rekaman kita. Ada satu rasa yang tibul: kerinduan. Kapan kita kan bertemu? Kapan kita tertawa terbahak-bahak seperti dulu? Kapan kita mengebrol dengan tema yang tak jelas?

Mungkin, aku menebak, kita sudah sibuk dengan pekerjaan atau kuliah kita. Kita sudah mafhum bahwa kehidupan tak hanya sibuk mengingat masa lalu. Karena hari ini juga akan menjadi masa lalu dikemudian hari. Aku pikir, masa lalu hanyalah nostalgia dan harus diambil hikmahnya. Dari masa lalu juga kita bercermin atas kelakuan-kelakuan kita—yang perlu perbaikan.

Hidup kita telah melewati halang rintang, di masa lalu. segala pilihan kita sekarang ditentukan oleh masa lalu kita sendiri, dan masa depan kita ditentukan oleh hari ini. Ketika masa lalu kawan luar biasa, maka tak dapat dielakkan, hari ini kawan akan luar biasa pula. Begitu juga seterusnya. Merangkai mimpi-mimpi yang kian susut oleh gerusan waktu, yang terkadang membuat pesimistis dengan mimpi kita sendiri.

Awan hijau itu berkilauan, lebat. Tak usah gundah gulana dengan masa depan, dan aku yakin setiap orang pernah merasakan gundah gulana terhadap masa depannya. Sebaiknya tak usah khawatir, kerjakan saja apa yang harus dikerjakan untuk mencapai mimpi-mimpi kita. Buat peta mimpi, akan kemana setelah ini, dan apa saja yang harus dilakukan. Bukankah orang mengatakan mimpi tanpa perencanaan adalah merencanakan sebagian daripada gagal?

Lagu merdu mengisi langit pagi ini. Suara burung mendayu lembut. Burung itu digantung dengan kurung bambu. Kakinya meronta dan sayapnya dikepakan. Berpindah kesana-kemari seolah mencari jalan keluar. Entah, mungkin dia ingin melarikan diri supaya hidup bebas bersama sekawanan burung lainnnya. Tak sendiri di dalam kurung ini, tak ada teman.


Kita tak seperti burung yang terkekang. Kita bebas dan menentukan segala pilihan kita dengan syarat kita berusaha dan berdoa kepada yang Maha Kuasa, Allah. Sangat simpel dan mudah bila diucapkan. Walaupun pada kenyataannya rintangan siap menghadang dan membuat kira ragu akan mimpi-mimpi kita. Namun, bila tak ada rintangan apalah artinya hidup. Bukankah pepatah mengatakan pelaut yang ulung lahir dari ombak yang liar?

Menunggu


Rindu
Waktu makin terus belalu
Aku lelah
Lelah mengerjakan ini semua

Dulu sempat kau merayu dan aku mau
Kau bilang, “Ini Mudah”
Aku menyanggupi

Semenjak itu,
Aku merasa sendiri bergulat dengan kepercayaamu

Aku menunggu
Kapan kau akan menyapa.
Menanyakan, bagaimana keadaanku?

Kemudian
Kau menggengam tanganku erat
Sambil berbisik “kau bisa melewati ini semua”

Namun kurasa ini sia-sia
Lamunanku membisu

Semua
Bohong
Omong Kosong

Kau pergi
Tanpa salam kepadaku
Malah senyum saja enggan

Padahal dulu
Setelah kepercayaan itu
Aku bermimpi
Kita berdua, berbicara
Tentang novel-novel kita,
Tentang rumput-rumput yang mulai tumbuh,
Dan tentang apa saja

Aku gundah menawan waktu sendiri
Setiap hari hanayalah pelu
Aku putus asa
Menantimu.

Kuharap kau sudi
Karena aku sudah tuli karenamu

note: sekedar ilusi, kerinduan ini hanya sebagian kecil dari kerinduan-Mu, Ya Allah