Awan Ilalang (detaazzahra.wordpress.com) |
Dua
puluh tahun, itulah umurku. Dan semenjak itu aku tak tahu kapan aku bangkit
dari keterpurukan. Aku hanya memelas sesekali pada angin yang menggoyangkan
pohon-pohon yang rimbun. Aku hanya berucap sesekali pada lantunan hujan yang
tak mau turun. Aku bisu terpatri dalam besi yang berkarat dan terpacung pada
lilin yang meleleh. Aku itu adalah kosong.
Jangan
panggil itu, karena lantas kau tahu hidup tak semudah yang dibayangkan. Hidup
seperti jemari tangan yang melabai yang senantiasa bergerak kesana-kemari namun
memiliki keterbatasan dalam segala hal. Hidup bukanlah untuk menyesali tapi
untuk berbuat penyesalan. Dan andaikala lemah jangan salahkan takdir, karena
kau sendiri yang mengubah nasib menjadi sebuah jurang menganga atas kelakuan
yang tak sepantasanya. Kau tahu ini tiada, dan kau hanyalah gemintang bersama
angin sore.
Malu
tertembus buliran air yang mengambang bersama jemala yang tak kusam diterkam
awan. Hidup terus berurai, berlari, bersama waktu yang bergerak tak peduli.
Langkah kaki yang gontai dan tenang maka akan terbelakang bersama gelandangan
yang mencari uang recehan. Hidup mematri diri dalam dilema fajar yang menyising
dikala sore.
“Sudah
diam!” kukatakan itu pada dilema yang tak berujung, yang mengegenggam tubuhku
dalam buaian semu. Aku menari seperti ombak yang tak lelah berlari-lari bersama
mentari ditengah air. Aku tenggelam bersama jenihnya air laut yang membiru dan
karang menghunus tubuhku tajam. Aku terbelah serta kuubah lautan menjadi
kemerah-merahan. Berdarah.
Labat
laun semua terpukau dengan lentikan jemari yang lusuh termakan masa. Masa
dimana kita berlari dan tak terkendali. Angin seraya berkata mengiri,”Kemanakah
kau pergi?” aku tak menjawab aku hanya melangkah sampai kaki tak bisa lagi
berdiri. Aku meronta menuju satu tuju,
alam bawah sadar yang telah menuliskan cita-cita dalam cemeti sore. Kau heran
mengapa aku lakukan seperti itu, alasanannya, karena aku tak ingin menjadi
sampah yang setiap orang bebas menginjak tanpa rasa besalah.
Legam
mulutku terbalur pasir yang kemuning di pagi yang masih sesak. Gerimis
berbentur bersama awan dan meraka saling menatap, dan berhadap. Satu dentuman
kencang keluar, bersuara mendengung bersama ribuan burung yang terbang bebas
tak melayang. Aku bersimpuh melawan cahaya
dari dentuman itu, tapi aku kuatkan hingga menyambar-nyambar tubuhku yang mulai
gosong termakan buaian kosong.
Sudah,
lama-lama itu menyeringai bah potongan daun pisang yang termakan ulat. Aku
tertatih sendiri dan aku tak mengapa karena ini pilihanku dalam gelap, saat
semua sirna termakan cahaya. Lampu-lampu yang bercahaya hitam menerangkan
pandangan yang mulai karam terbawa nostalgia masa lalu. Aku harus beranjak
bersama lelah yang hinggap. Aku harus beranjak bersama lanntunan sair yang
mulai pudar.
Menyerah,
kata yang tak ada dalam mengarungi samudra hidup yang ganas. Lebih ganas
daripada badai yang mendera daerah kawasan yang labil peranginan. Aku, tetaplah
aku dengan tubuh yang mulai menyut termakan pikiran. Namun hal itu tak bisa
kunafikan bahwa aku butuh ketenangan dalam bercengkrama dengan waktu.
Membalut-balut faedah yang mulai ditinggal oleh kenangan.
Aku
yang tak bisa membenci tanpa dibenci. Aku membeci dengan hati dan mulut
terkunci. Kupendam dalam lemari di sebelah hatiku yang deru padam. Hilanglah!
Bersama tenaga yang kendur tergusur keringat berkepanjangan. Ruangan ini telah
kosong ditinggalkan penghuninya hingga aku terpekur sendiri, tak tahu berbicara
pada siapa. Hilanglah! Bersama bintang diangkasa yang tersebar tertata tanpa
satupun peduli ketika cahayanya mulai padam. Namun, kuingat kita taklah seperti
bintang, kita hanya sekumpulan makhluk dengan analogi-analogi murka. Haus akan
darah saudaranya yang tak semuanya seperti itu.
Pelan
kita hilang termakan oleh ilalang yang dari pagi sore menyapa dengan nukilan
senyum. Tubuhnya bergoyang dengan bahagia. Tak sanggup kumenjawab, karena kau
pasti tak akan mendengar. Kau hanyalah sebongakah sanubari kecil ciptaan yang
Kuasa, yang memebuhi tempat ini dan membuatnya menjadi damai.
Langkah
kaki yang menderu membuatku menengadah dalam sakit. Semua aku, anda, kamu,
kita, kalian, dan siapapun itu pasti merasakan sebuah kesakitan yang membuat
kita ragu dalam mengarungi apa-apa yang ingin kita raih. Kira semakin saja tak
terjawab dari segala jenis pertanyaan yang menukik. Dari setiap jenis derita
yang tak malu untuk muncul ke permukaan. Sudah pergi bersama hujan yang mulai
mengalun.
Aku
membentur tembok, tapi aku tak terhenti untuk melangkah. Aku dongkakan tubuh
hingga tanganku menengadah menekan-nekan tembok raksasa seukuran tembok gaza.
Dalam kedaaan yang tak terkendali itu kita seperti tsunami yang menerabas apa
saja, tanpa perllu merasa sakit . maka tak lagi dapat kumuat kata-kata yang
semakin menggumal dalam alam pikiran. Biarlah mereka habis bersama alang
rintang yang menjemukan.
Laut
membiru bersama sekawanan kapal yang berlayar dari teluk ke teluk hingga
semuanya menjadi sebuah catatan yang tak terbahas akhirnya. Dengan malu aku
meraih bukit yang semakin saja meninggi, tebujur kaku menembus langit. Akankah
semua layu bersama buaian langkah yang
tak dapat tercerna artinya, apakah ini hanyalah sebuah isyarat dari khayalan
yang tak kunjung datang? Apakah semua ini hanyalah ilusi dari sekelompok orang
yang membenci kehidupan? Lantas, apa yang harus kulakukan.
Rebahkan
badan dan menghadap ke kiblat dengan tenang, kita hanyalah makhluk yang lemah
dengan segala keterbatasannya. Kita bukan apa, kita lebih kecil dibandingkan
dengan debu di alam semesta. Kita bukan siapa-siapa kecuali milik-Nya yang
selalu menjaga jiwa-jiwa dan tak segan memberi kenikmatan, walaupun kita lupa
untuk bersyukur.
0 comments:
Post a Comment