Hari ini kebetulan saya pulang malam
dari kosan teman di Geger Kalong Girang. Kosan saya di Cipaku. Jarak yang cukup
jauh dan memakan waktu hampir 35 menit bila berjalan kaki, dan malam ini saya
berjalan kaki. Kendaraan sudah lenggang di jalan Geger Kalong, hanya beberapa
saja yang terlintas. Para grobak nasi goreng bertebaran di pinggir jalan.
Gerobak dengan bentuk dan tipe sama, bahkan rasanyapun sama, tak berbeda jauh.
Dan para tukang nasi—warteg—sudah pada tutup. SMM DT (mini mart) pun sama, sudah gelap.
Namun bukan itulah ini yang saya
ingin ceritakan. Kala perjalan pulang dan ketika mata melihat motor yang
melintas atau yang diam, ada sesuatu yang mengganjal dihati. Entah.
Padahal saya dan anda pasti sudah sering
dan tak asing menyaksikan motor melintas di depan mata. Keheranan saya ini
mendorong untuk komentar dan menuliskan beberapa paragraf dalam tulisan ini.
Sudah menjadi sesuatu yang biasa,
bila seseorang perempuan dibondeceng oleh laki-laki. Perbuatan ini tidak
melanggar norma dan nilai di masyarakat, sebagai contohnya tukang ojek yang
siapa saja, tua muda, digaetnya. Tapi yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana
jika dua orang yang belum menikah, boncengan motor, lalu yang
dibonceng—biasanya perempuan—memeluk erat yang membonceng. Rapat tanpa sekat
dan dadanya menempel pada punggung yang membonceng.
Tak jadi persoalan jika seseorang
yang dibonceng perempuan oleh lelaki yang belum mahram dalam keadaan mendesak. Tentu dengan batas kewajaran, tidak
menempel bagai lem. Nah begitu pun dengan malam ini. Lalu lalang motor berisi
dua pasang wajah manusia yang mudah-mudah mahramnya mendekap dan merangkul.
Pembonceng merasa tak masalah bila yang dibonceng menyasar tubuhnya dalam
sebuah dekapan, atau mungkin si pembonceng malah senang.
Memang saya juga berpengalaman
bonceng membonceng terkhusus waktu SMA, yang manakala saya selalu membawa
motor, walaupun tak sampai ke sekolah, karena motor saya bodong. Ada rasa tersendiri ketika saya membonceng teman wanita, apalagi
sampai memeluk karena takut jatuh. pelukan itu beraralasan dan kadang ada rasa
sesal tersendiri sampai sekarang. Kenapa saya berani mengajaknya? Jujur waktu
SMA saya tidak pernah pacaran, karena toh
yang saya sering lihat orang yang boncengan itu orang yang pacaran, yang mana
antara mereka berdua tidak memiliki hubungan sah secara agama.
Hal yang membuat saya Ironi, dekapan
diatas motor itu lalu lalang di depan sebuah pesantren yang dipimpin oleh AA
Gym: Daarut Tauhid. Pelajaran yang dapat diambil, tak semua orang yang deket
pesantren itu ternyata soleh. Banyak juga yang ingkar dan lalai.
Perjalanan berlanjut. Kaki masih
bergelut dalam langkah. Para tukang ojek terlingat melamun dengan tatapan
kosong pada sebuah TV yang berukuran 14 Inchi yang diletakan dipojok
bangunan—pos. Tv itu bersiarkan Film barat yang entah judulnya apa, sempat saya
liahat, orang botak besar dengan otot jadi (Baca: Kuat) pada kedua tangannya,
yang mirip dengan salah satu pemeran utama Fast
Furious. Sebuah siratan yang dapat ditangkap dari semua wajah tukang ojek
itu: lelah menunggu penumpang, sedangkan para penumpangnya hampir semua punya
motor.
Pada belokan ke arah cipaku, sekitar
beberapa ratus meter, dua orang beradu di bawah pohon, dekat sisi tembok. Sepi.
Mulutnya menganga bicara pelan sedangkan badannya saling berhadapan. Mereka
masih muda. Saya rasa saya lebih tua dibanding mereka. Apa yang mereka lakukan?
Kenapa mereka berdua semalam ini? Entah, saya hanya berjalan lurus, berharap
sebentar lagi sampai kosan. Karena kaki saya pegal dan ingin saya selonjorkan.
Pada kelokan gang hanya hening yang
saya rasakan. Kemudian beberapa tangga serta turunan curam beralaskan tembok
berhasil dilewati. Disanalah beberapa kamar berdiri—kosan—yang salah satunya
kamar saya. Nampak lenggang dan beberapa lampu telah mati. Mungkin mereka sudah
terlelap dalam mimpi dan mungkin beberapa sedang sibuk mengerjakan tugas kuliah
atau belajar untuk UAS besok.
Saya ambil kunci pintu di dalam tas,
karena saya tukut jatuh jika disimpan di saku. Apalagi kelemahan saya sering
lupa. Pintu terbuka dan saya buka sandal. Malam makin tak bersuara dan tiada
angin yang bicara. Maka saya tutup pintu dan biarlah engsel pintu yang brbicara
pada mereka: malam dan angin.
Ditulis pada 17/12/2014
0 comments:
Post a Comment