Kubuka
lembaran kabut yang masih terbenam di kala fajar. Aku mematung bersama
jemari-jemari yang mengering. Di tanah ini, akan kutampahkan keringat sampai
darah mengalir terhunus ribuan peluru, martir, bom molotop, dan apapun itu.
Lembayung
kuning mengempis di masjid Al-Aqsa, tempat kiblat pertama umat muslim. “Bersiap,
tentara Israel menyerang melalui tank!” seru Komondan Pasukan, Ahmed
Al-Ghazali, lelaki setengah baya keturunan suku kurdi.
Kami
langsung siap siaga dengan senapan dan peluru yang menyampai di badan kami.
Israel bengis, yang telah menindas kaum muslim yang tak berdosa, merampas
tanah-tanah para nabi, dan sekarang menbredeli masjid Al-Aqs hingga menjadi
milik mereka sepenuhnya. Dulu masjid ini terbelah menjadi dua. Sebelah untuk
ibadah kaum Yahudi, dan sebelah lagi untuk muslim.
“DOOORRR...DOOORRR...DOOORRR”
suara tank israel menghantam persembunyian kami di bawah tanah. Aku
tergopoh-gopoh meninggalkan terowongan yang mulai goncang.
Sekelebat
aku berlari menuju sisa-sisa bangunan yang berserakan tak terautur akibat serangan
Israel tempo hari. Kami menghadap masjid Al-Aqsa yang di kerumuni oleh tentara
Israel. Meraka sudah menghancurkan sebagian sudut masjid Al-Aqsa dengan alat
berat untuk dijadikan kuil Solomon, yang konon kuilnya nabi Sulaiman. kami tak
bisa diam melihat kemungkaran di hadapan kami, yang telah merusak tempat
hijrahnya Rasullulah Saw., salah satu tempat suci umat Islam.
“Tembak!!”
suara komandan Ahmed menderu kencang. Kami langsung melaksanakan tugas.
Tembakan
demi tembakan dilesatkan ke kerumunan tentara Irael. Dua orang tentara Israel
terkapar di tanah dengan darah yang mengalir. Balasan dari Israel lebih ganas
menyerang kami, persenjataan mereka lebih canggih, tapi kami tak gentar
menegakan kalimat Tauhid. Kami ingin syuhada dan bertemu dengan para kekasihMu
di syurga.
Aku
merangsek maju ke depan, kutembak tentara israel yang bersembunyi di balik
bongkahan bangunan. Tembakan itu menyarasar tepat dibahu salah seorang tentara
Zionis, kelihatannya jatuh, dan nampak lagi. Mudah-mudahan dia tewas, karena
tewasnya orang-orang Zionis itu tak sebanding dengan pembantaian umat islam di
negeri-negeri muslim oleh tangan-tangan kafir yang tak suka dengan Islam.
Temanku, Jaber, ikut merangsek kedepan.
“Allah
selalu bersamamu Akhi” sergahnya
sambil memegang bahuku
“Syukran, semoga kita dalam lindungan
Allah dan menempatkan kita dengan kekasihNya di surga kelak” timpalku dengan
pelan
Kami
tersenyum sesaat dan terus merangsek, memukul mundur israel yang makin kalap.
“Blaggg....”
tempat di sebelah kami mengepul, bom jatuh dari udara, untung kami terhalang
tembok yang cukup kokoh sehingga tak mengenai jaber dan aku.
Desingan
bom dari kapal drone Israel menghantam kami, beberapa orang brigade
kami terkapar. Semoga mereka mati syahid dan menjadi syuhada. Kematian
mereka membakar semangatku, membara.
Agaknya
pertempuran ini lebih dahsyat dibandingkan dengan pertempuran Dunia ke dua,
tiap hari kami harus angkat senjata ketika Israel mengusik dengan seenaknya.
Dan negara inipun, Palestina, tinggal sepetak lagi. Israel telah merebut tanah
kami dan membelah-belah setiap jengkal tanah menjadi tempat tinggal, pemukiman
penduduk mereka.
Tembakan
demi tembakan mendera kami bagaikan limpahan air. Terus menerus. Sementara
peluru kami mulai menipis dan beberapa orang telah kehabisan peluru. Namun tak
pasrah begitu saja, kami mengambil batu dan melemparkannya ke tank-tank Israel.
Walau terlihat percuma, atas pertolongan Allah, satu tank Israel roboh
berkeping-keping oleh hanya satu lemparan batu.
Di
tanah ini, keajaiban bak menjadi kebiasaan. Kuasa Allah terlihat dengan mata
telanjang, pernah satu ketika saat bulan ramadhan, kami bertempur dengan
tentara Israel, keadaan kami sudah terjepit yang memaksa kami bersembunyi di
antara puing-puing bangunan. Entah mengapa, saat digeledah tempat persembunyian
kami oleh tentara Israel tak ada yang satupun tertangkap, padahal tentara
Israel lalu lanlang disamping kami.
“Allahuakbar!
Allahuakbar! Allahuakbar!” Jaber roboh, dadanya tertembak peluru. Kupegang
tubuhnya erat.
Matanya
telah sayu tapi mukanya menggambarkan kegembiraan. Kegimbiraan akan bertemu
dengan pemilik jagat raya, yang telah memberikan cintaNya kepada kami dalam
ikatan akidah. Lantunan Ayat Al-Quran mengalun membasahi bibirnya.
“Ucap
syhadat, semoga Allah selalu disisimu akhi”
kupandu mengucap sayahadat. Napasnya kemabng kempis. Dan beberapa batang kata tiba-tiba meluncur dari lisannya,
“Kita
adalah makhluk lemah yang hanya berpaku pada cintaNya. Usir penjajah Israel itu
dari tanah kita. Kita merdeka!” suaranya lemah dan semakin lemah. Hilang.
Rangkaian
kata itu membuatku terbelagak. Kupandangi muka sahabatku itu yang telah pergi
bertemu Sang Ilahi. Mataku melihat tentara Israel yang semakin ganas mengebom
kami. Kuletakan jasad Jaber dan kuambil beberapa batu pasri, kulemparkan namun
tak mengenai tentara Israel malah tidak sampai. Kucabo lagi, berkali-kali, tapi
hasilnya nihil.
“Mundur!!!”
teriak komandan Ahmed yang melihat pasukannya kalang kabut.
Aku
membalikan badan, namun rasanya sulit aku masih ingin bertarung dengan tangan
kosong. Aku hanya ingin segera bertemu dengan Sang Maha Cinta, Lillahi Rabi.
Kulangkahkan kakiku berlari menjauhi lokasi pertempuran menuju beberapa terowongan
yang masih utuh bersama brigade yang
lain.
Namun,
ketika aku sedang berlari, ada getar yang menerpa tubuhku dan membuat
pandangnku gelap. Seketika gelap. Tubuhku terasa terlempar beberapa kilometer.
Mengapa dengan aku? Kugerakan tubuhku namun tak bergerak. Sulit. Dan mengapa
tubuhku menjadi kaku. Seketika komandan Ahmed mendekat seraya berkata,”ucapkan
syahadat wahai saudaraku.”