Banyaknya
intesitas hujan di Indonesia, justeru menjadi polemik. Betapa tidak setiap kali
musim hujan seperti bulan ini, Desember, beberapa wilayah di Indonesia terkena
banjir. Coba sebutkan provinsi mana yang
tidak terkena banjir? Hampir seluruh provinsi di Indonesia terkena banjir,
terkhusus provinsi yang ada di Pulau Jawa.
Dalam
kurun waktu tahun 2014, jumlah korban meninggal akibat bencana banjir, longsor,
gempa, dan puting beliung di seluruh provinsi di Indonesia mencapai 355 orang.
Korban yang paling banyak berada di provinsi Jakarta dengan 21 orang, yang
notabene sebagai ibu kota republik ini. Banjir ini pula mengakibatkan lebih
dari 30.000 orang mengungsi dari Jakarta. Menurut Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) selama kurun waktu tahun 2014 telah terjadi sebanyak 1.136 kasus
bencana banjir, longsor, puting beliung. Dampaknya 25 rumah rusak. Kerugian
akibat banjir ini tak sedikit, trilinuan rupiah.
Banjir
dipicu oleh hujan yang mengguyur deras dalam kurun waktu relatif lama. Banjir menyebabkan
efek domino bencana. Ketika banjir merendam suatu daerah dimungkinan masyarakat
daerah tersebut terserang penyakit. Padahal akses menuju rumah sakit sulit
karena semua lahan terendam air. Puskempas menjadi “bangkai”, tak berfungsi.
Belum lagi tidak berjalannya jual beli, maka akan berdampak pada perekonomian.
Barang-barang yang sebelumnya lumrah menjadi sulit, seperti kebutuhan pokok.
Ditambah akses yang susah untuk menyalurkan bantuan menjadi pendorong utama
terjadinya kelaparan. Maka ekonomi suatu negara kemungkinan goncang dan
pertambahkan nilai inflasi semakin tinggi.
Selain
banjir, bencana akibat hujan yaitu longsor. Suatu daerah dengan morfologi
lereng bergunung-gunung mempunyai potensi longsor yang tinggi, contohnya Jawa
Barat. Suatu ketika saya pergi ke daerah longsor yang ada di desa Cipongkor,
Kabupaten Bandung Barat. Daerah longsorannya sangat kecil dan hanya menimpa
satu rumah yang berada tepat dibawah lereng. Longsor ini mengakibatkan satu
orang meninggal dunia. Longsor terjadi di sore hari setelah hujan lebat menimpa
daerah itu di siang harinya.
Hujan
juga menyebabkan lalu lintas menjadi merayap dan macet, karena badan air
tergenang dan aspal melicin. apa yang kita rasakan ketika macet? Kesal bukan.
Kemudian kita berucap tanpa sadar “ah,
ini gara-gara hujan nih, jadi macet”
Dengan
berbagai macam bencana yang diakibatkan hujan. Kemudian persepsi kita terbentuk
bahwa ketika hujan datang maka sikap ketidaksenangan muncul. Sikap ini
melihatkan bahwa hujan merupakan masalah. Apalagi dengan keluarnya kata “ah”, memperkuat bahwa hujan merupakan
masalah serius. Di sisi lain, kita juga dihadapkan pada keserbasalahan atas
sikap kita sendiri. Ketika turun hujan kita mengeluh. Tapi ketika panas melanda
juga sama, mengeluh. Ini menunjukan ada yang salah dalam diri kita, dan
sebenarnya apa yang salah dalam diri kita?
Tak
salah Nabi bersabda dalam hadisnya,”Dari
Ibnu Abbas Radhiallahu’anhuma, ia berkata: ketika itu hujan turun di masa Nabi
Shallallahu’alahi Wassallam, lalu Nabi bersabda: ’Atas hujan ini, ada manusia
yang bersyukur dan ada yang kufur nikmat. Orang bersyukur berkata: ’inilah
rahmat Allah. Orang yang kufur nikmat berkata” ‘Oh pantas pantas saja tadi ada
tanda begini dan begitu” (HR. Muslim)
Hujan itu berkah
“Dan menurunkan dari langit air
hujan. Maka, kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuhan
yang bermacam-macam. Makanlah dan gembalakanlah binatang-binatangmu.
Sesungguhnya pada demikian itu, terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang
yang berakal” (QS. Thaaha: 53-54)
Ayat
ini sesungguhnya menjelaskan kepada kita betapa hujan itu berkah bukan musibah.
Masih banyak ayat-ayat Al-Quran tentang urgensi hujan bagi kehidupan manusia. Adanya
hujan merupakan pertanda bahwa kehidupan masih eksis, karena tanpa hujan tak
mungkin kita menumbuhkan tanaman yang mana sebagai makanan kita. Ini adalah
keberkahan dan rizki dari Allah, Sang Maha Pengasih.
Dalam
ptotongan ayat surat Thaaha “....tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang
yang berakal.” Hal ini menjelaskan kepada kita, bahwa orang-orang yang
menggunakan pikirannya untuk iqra atas
fenomena serta kejadian sekitar. Maka akan mendekatkan dia kepada Sang Maha
Pencipta. Sedangkan orang yang keras hatinya dan jumud pikirannya serta menilai segala sesuatu dengan “seenaknya”. Maka kita dapat tebak, dia
tidak dapat memaknai atau iqra
terhadap tanda-tanda kekuasaaan Allah.
Hal
ini tentu mematahkan realitas, bahwa hujan merupakan suatu “masalah” adalah hal
yang salah. Ini menandakan bahwa masyrakat kurang iqra terhadap ciptaan Allah, yang justru masalahnya bukan pada
hujan tapi pensikapan atas hujan itu, sebagia contoh mengatakan “ah”.
Peringatan Dari Perbuatan
Bencana
banjir dan longsor sebetulnya bukanlah diakibatkan oleh hujan. Hujan hanya
benda tak hidup yang jatuh ke bumi yang tergantung dari orang yang
mengelolanya, karena kita tahu, hujan pada dasarnya adalah suatu keberkahan.
Pengelola itu siapa lagi jika bukan manusia, karena manusia telah diberi amanah
sebagai khoifah di muka bumi ini guna menjaga dan merawat bumi dengan baik.
Ketika
manusia tidak menggunakan ilmu—tidak iqra—dalam menyikapi hujan dan hanya digantungkan pada
perkiraan yang berasal dari perasaan, sedangkan perasaan adalah manifestasi
dari nafsu. Maka kerusakan tak dapat terelakkan, yang justeru merugikan manusia
itu sendiri. Allah Swt. Berfirman:
“Telah nampak kerusakan di darat
dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan
kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke
jalan yang benar)” (QS. Ar-Rum:
41)
Dalam
konteks ayat ini, kita dapat ambil bahwa banjir merupakan peringatan agar manusia
itu sadar akan perbuatannya yang tidak bijak mengelola lingkungan. Jika diurai,
permasahan banjir ini murni kesalahan manusia. Sebagai contoh, kota Sukabumi yang
terkena banjir tahun ini, padahal di tahun-tahun sebelumnya belum pernah banjir.
Hal ini akibat konversi lahan yang tidak memperhatikan lingkungan dan penataan
bangunana yang buruk.
Keterbatasan
akan lahan dan penduduk makin bertambah banyak menyebabkan alih konversi lahan
semakin cepat. Lahan hijau atau lahan pertnian dikonversi menjadi pemukiman.
Memang hal yang wajar jika dilakukan dengan memperhatiakan keseimbangan
lingkungan lewat penataan wilayah yang baik dan merujuk pada butiran
undang-udang yang berlaku.
Sayang
masyarakat kita kebanyakaan masih bergelut “Bagaimana esok makan dan sore dapat
uang”. Ditambah dengan kurang pedulinya pemerintah terhadap pemberian solusi
bagi warga yang tinggal menyalahi aturan. Adapun pemerintah perhatian dengan
pemaksaan untuk pindah, tanpa diberi solusi yang konkrit, seperti penyedian
hunian baru bagi orang-orang yang tinggal menyalahi aturan dengan harga yang
murah.
Secara
teknik tentu banyak sekali teori untuk mengatasi bencana banjir dan longsor.
Misal penghiajuan, pembautan biopori, pengedukan sungai, pembangunan canal, pelebaran sungai, dan lain-lain.
Tapi anehnya, teori hanya sekedar teori, sedangkan realitas dilapangan berbeda
jauh. Daerah di Indonesia makin banyak yang terkena banjir dan longsor.
Pengaplikasian
teori tidak bisa dinilai suatu kegagalan, karena sudah dilakukan. Namun yang
menjadi masalah adalah akhlak penduduk masih sama baik sesudah dan sebelum
rekayasa teknik. Hal ini dapat kita lihat pada pengedukan sungai Ciliwung yang
dilakukan setiap tahun karena proses sedimentasi—pedangkalan—akibat sampah. Sedangkan
masyarakat di sekitaran sungai Ciliwung tidak mendapat sosialisasi sempurna dan
utuh, yang membuatnya masih tidak peduli terhadap lingkungan di sekitarnya.
Akibatnya suka buang sampah ke sungai dan lahan dekat sungai digunakan untuk
perumahan yang menyebabkan badan sungai menyempit merupakan hal yang
wajar-wajar saja.
Seharusnya
pemerintah dengan segala upaya merubah pemikiran masyarakat akan akhlak dan
kebiasaan yang tidak baik. Apalagi pemerintah sekarang mencanangkan “Revolusi
Mental”. Tentu sebagai masyarakat harus menyambut baik gagasan ini. Namun
dilain pihak, kita masih bingung dengan konsepan “Revolusi Mental” itu, bagaimana
dan seperti caranya? Penerapannya seperti apa? Siapa yang melakukan? Dan
didasarkan pada apa? Jangan sampai
gagasan tersebut menjadi slogan buta untuk mensukseskan jabatan selama
kepemerintahan.
Seandainya
masyarakat berpikir dan iqra terhadap
semua fenomena yang ada di lingkungannya. Maka masalah seperti banjir dan tanah
longsor tentu tidak akan terjadi. Apalagi disandarkan pada kesadaran islam
secara utuh, pasti akan menghasilkan akhlak mulia yang merubah paragdigma buruk
yang ada di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, antara pemerintah dan
masyrakat harus bekerjasama dan saling berpegangan tangan dalam mengatasi
masalah ini. Karena dengan kerjasama yang dihasilkan dari sebuah kemufakatan
akan merubah secara cepat kondisi ke arah yang lebih baik. Kedua pihak juga
harus berprilaku santun, khusunya prilaku pemerintah yang sebagai “pelayan rakyat”
harus mencerminkan namanya.
Pepatah
mengatakan “Bangsa yang besar adalah bangsa yang belajar dari
masalalunya—sejarah”. Kalimat itu mesti dijadikan panutan dalam mengurangi
resiko bencana. Dengan belajar, kita akan mengetahu mana prilaku yang benar dan
mana prilaku yang salah. Hal tersebut menjadi keharusan kita—pemerintah dan
masyarakat—belajar rmendalam akan akibat dan sebab bencan banjir dan longsor.
Jangan dibiarkan seperti angin lalu. Masalah beres kalau banjir dan longsor
sudah teratasi, tapi pengelolaan, akhlak masyarakat, dan sistem mitigasi
bencana serta regulasi pemerintahan tidak diperbaiki. Percuma. Kejadian itu
akan terulang lagi di tahun depan.
Maka
pengalaman bukan hanya dijadikan kenangan tapi pembelajaran supaya tidak
terulang lagi dikemudian hari. Kita juga harus optimis untuk mengatasi problem ini lewat pembelajaran dari
runtutan pengalaman. Tidak cukupkah pengalaman akan bencana banjir dan longsor
di negara ini? Tidak cukupkan peringatan yang Allah berikan yang menimpa selama
ini?
Sebab Berkah Jadi Musibah
Hal
yang menjadi sebab diantara sebab kenapa berkah jadi musibah di Indonesia, dari
kurangnya iqra, perbaikan teknis,
akhlak masyarakat, dan sorotan pemerintah, adalah kurangnya rasa syukur atas
nikmat yang Allah berikan.
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu
memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrahim: 7)
Dalam
ayat ini tersirat dua makna yaitu Allah memberikan reward bagi orang yang bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah.
Kedua Punisment atas orang yang tidak
bersyukur atas nikmat yang Allah berikan. Jika kita korelasikan dengan kedatangan
musim hujan yang menyebabkan bajir, longsor, dan puting beliung, apakah kita
suka mengucapkan “Alhamdulilah,
terima kasih Ya Allah musim penghujan telah datang” atau malah sebaliknya “ah
musim hujan, banjir datang lagi, kerjaan
keganggu, jemuran susah kering
dan.....?”
Manifestasi
rasa syukur begitu banyak dan beragam, tidak selalu berbentuk ucapan tapi
perbuatan. Pendayagunaan diri kita untuk mengolah dan memanfaatkan air hujan
merupakan bentuk syukur, misalnya membuat sistem pengelolaan air hujan agar
tidak terjadi banjir dan memebersihkan aliran air baik sungai atau selokan
untuk mempermudah aliran air. Hal ini sesungguhnya memberi keuntungan kepada
kita, yaitu kemuliaan dan pahala dari Allah Swt, selain rasa terimakasih dari
sesama manusia.
Hal
yang kita indra dari masyarakat saat ini adalah kurang sekali bersyukur kepada nikmat
yang Allah berikan, yang terwujud dari sikap, perbuatan, dan ucapan dalam memperlakukan
lingkungan khusunya musim hujan.
“....dan jika kamu mengingkari
(nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”
dari potongan ayat surat Ibrahim tersebut kita bisa memahami bahwa masyarakat
yang mengingkari atau tidak bersyukur atas nikmat Allah akan mendapat Azab.
Mungkin selama ini banjir, tanah longsor, dan angin puting beliung merupakana
azab Allah, yang merupakan peringatakan kepada kita, akibat kelalaian kita
sendiri.
Untuk
itu sikap apatis yang membentuk masyarakat harus dikikis dengan pemaknaan dari
setiap bencana yang terjadi—iqra.
Rasa kepedulian kecintaan lingkungan harus ditumbuhkan sehingga dapat
“menjiwai” masyarakat.
Rasa
syukur pemerintah harus luar biasa lagi tak hanya omong doang di media. Tapi dengan bukti-bukti pembangunan yang
berwawasan lingkungan dan mempertimbangkan segala aspek, termasuk penyikapan
terhadap hujan dan musim hujan. Hal yang perlu diingat adalah rasa syukur itu
harus didasarkan atas ketaauhidan Allah semata. Bukanlah pujian orang lain atau
pencitraan untuk menaikan kredibilitas.
Maka
ketika rasa syukur itu menjadi hal yang biasa, yang tentu dibarengi dengan
ikhtiar, segala permasalahan Isya Allah
akan terselesaikan segera. Banjir dan longsor hanyalah masalah kecil bagi Allah
dari sekelumit ciptaan-Nya. Firman Allah:
“Jika kalian ingkar, sesungguhnya
Allah Maha Kaya atas kalian. Dan Allah tidak ridha kepada hamba-Nya yang ingkar
dan jika kalian bersyukur kepada Allah ridha kepada kalian.” (QS. Az-Zumar: 7)
0 comments:
Post a Comment