Aku hanya diam
memandang sesekali. Aku juga heran pada
kejadian ini, mengapa? Apakah ini hanya mimpi disiang bolong, karena tepat saat
ini tengah hari?
Kupijit dan
kucubit tangan kananku. Sakit. Ini bukanlah mimpi. Ini nyata. Namun aku harus
ber-husnudzun, mungkin mereka saudara
tapi mereka tidak mirip, mungkin mereka adik kakak tapi mereka seumuran,
mungkin mereka suami istri tapi apakah semuda itu? kulihat parasnya, sepertinya mereka baru
menginjak umur delapan belas. Tapi mengapa, mengapa dan mengapa.
Aku tergugu
diam. Kulanjutkan dengan obrolan bertema anak-anak sungai Cikapundung yang
nakal mengasyikan. Mereka berkisar antrara kelas 1 SD sampai kelas 4 SD. Kadang
membuatku kesal bukan kepalang, kadang mereka sangat, sangat menyenangkan. Ah, itulah anak-anak, masa kecil yang
penuh dengan suka. Meraka hanya bermain, tertawa, dan sedikit belajar. Senangnya
jadi anak-anak.
Suasana di dalam
angkot ini lumayan riuh. Parau suara dua orang yang “mesra.” Hatiku hanya
dengki dan marah. Aku berkali-kali berpikir positif tapi tidak mempan menahan
seruakan pikiran negatif. Aku hanya curiga. Curiga akan kelakuannya. Berhijab,
menutup aurat, berpakaian longgar, namun bergandengan tangan dengan lelaki yang
entah itu siapa.
Mereka makin
asyik dengan candaannya. Padahal semua kursi penuh. Tepat, waktu itu, aku
ditemai dengan dua orang teman, panggil saja Indra dan Bima, yang sama dari
sekolah alam Cikapundung. Seperti mereka kami juga tertawa dengan beda tema
pembicaraan. Kami berbicara tentang kekonyolan yang kami lakukan dan
sikap-sikap anak-anak kepada kami, di Sekolah Alam Cikapundung itu.
Disela-sela itu,
hatiku terpukul hebat. Otakku berpikir yang tidak-tidak—bukan pikiran kotor. Meraka
saling menepak, menselonjorkan kaki bersama, dan menatap nikmat. Berdua. Apakah
mereka tidak malu dengan kami bertiga yang ada disampinya. Sekali lagi ku
tegaskan mereka masih remaja di usia yang sama, entah mahasiswa semester
pertama atau anak SMA.
Namun ada hikmah
yang dapat kuambil. Ternyata antara pakaian dan perbuatan adalah sesuatu yang
beda. Pakaian tidak mencerminkan perbuatan dan begitu juga sebaliknya. Pakaian syari’
belum tentu berakhlak mulia dan yang berakhlak mulia tidak harus berpakaian syari’,
keduanya terpisah. Namun yang menjadi salah. Menjustifikasi pakaian dengan
perbuatan dengan mengatakan” so suci, so
alim”, “ngapain pakaian bagus--syari’—tapi
akhlaknya buruk.” Dengarlah akhwat
pakaian adalah kewajiban yang sudah baku tertera dalam kitab suci dan Hadis Nabi.
Menutup aurat adalah perkara yang tak bisa ditawar-tawar. Menutup aurat dengan
menutup hati adalah beda, yang keduanya harus dilakukan. Perbuatan adalah cermin
sikap dan karakter. Perbuatan dan pakaian bagusnya dibangun bersama agar
totalitas dalam beribadah. Tapi, memakai pakaian syari’ wajib walau prilaku tidak
baik. Inilah dilematika hidup. Mungkin mereka hilap, aku menyimpulakan.
Tepat di Panorama,
dekat gang ojek, kami bertiga turun dan begitu juga dengan mereka. Aku mengucapkan
salam kepada salah seorang sahabatku, Indra.
Aku dan Bima kemudian berjalan pelan menuju toko alat tulis. Aku hanya
tersenyum dan melihat kedepan dengan obrolan lanjutan dari sisa angkot. Mereka telah
menghilang, pergi, dan aku tak peduli. Semoga Allah menyadarkan mereka jika
mereka berbuat seperti yang kuduga. Jika dugaanku salah semoga Allah memaafkan
dan menyadarkan aku yang telah salah mengira meraka: suudzon.
Note: Kisah Nyata,
0 comments:
Post a Comment