Langit
mendung, hujan rintik-rintik turun membasahi tanah yang kusam. Pudar. Aliran air
itu membasuh tanah yang berhumus, litosol, dan mengarah pada irigasi yang
berujung pada sebuah teluk di lautan Indonesia, Pelabuhan Ratu. Batu yang
terkikis melambangkan keperkasaan hujan. Sedikit demi sedikit memudar lalu
hilang menjadi tanah. Seseorang yang terduduk sendiri pada sebuah kursi di
balik jendela, aku. Aku teringat dengan perdebatan tadi pagi dengan kawanku Irwan
di sekolah. Sebuah pertanyaan menghujam diriku, “Kenapa awan dengan berat
jutaan ton mengapung di angkasa? Mengapa air hujan tidak asin, bukan kah air
hujan itu evavorasi dari laut? Dan beberapa pertanyaan lain, mengapa.” Aku termenung
menyaksikan transpirasi yang tipis. Sebentar lagi di langit sebelah barat menyembirat
cahaya membias, membentuk tangga warna: Pelangi.
Suara
menyentakku, tiba-tiba aku berada pada tempat yang aku impikan selama ini. Sebuah
tempat yang ada di film narnia. Sebuah peamndangan yang bagaikan surga, tak
dapat dijelaskan. Tak seperti di cerita-cerita film, seorang pemuda mendekatiku
pelan dan menyapa.
“Kau
pasti ingin tahu mengapa awan mengapung di awan kan?”
Aku
terperangah, “Kau siapa?”
“Saya
adalah kawanmu” jawabnya tegas, “Kau tak perlu lebih lanjut tentang saya”
lanjutnya
Aku
masih bingung, “Dimanakah aku?”
“Kau
tidak perlu tahu dimana sekarang, kau akan tahu nanti, sekarang kau harus
mengikuti sungai ini, supaya jawabamu terjawab”
Bagaimana
mungkin awan ada hubungannya dengan sungai, ah, ini hanya pembongongan. Aku tidak
mau. “Aku tak mau” jawabku lantang.
Dia
menatapku tajam dan menunjakan sebuah jalan. Punggungku didorongnya dan aku tak
bisa menahan. Macam apa ini, paksaan. “Kau akan menjawab pertanyaan Irwan,
kawanmu itu yang sekaligus musuhmu,” dia berbisik
Emosiku
melunjak, aku tak ingin dipermalukan lagi dalam sebuah debat di kelas yang
membuat aku membeku. Aku langsung menyusuri sebuah jalan, tanpa sepatah katapun
dan tanpa menoleh pada orang muda itu.
Jalan
curam, pinggiran jalan ini berupa tebing dari batuan keras hasil erupsi gunung.
Nampaknya tenaga eksogen telah mengikis berjuta-juta tahun lamanya. Jalan becek,
seperti telah terjadi hujan lebat. Beberapa saat aku hampir terjatuh, karena tak
dapat mengendalikan diri. Tapi jalanku masih bergebu-gebu.
Langkahku
terlepas, aku memegang ranting yang tumbuh di sisi tebing, tapi badanku terlalu
berat, ranting itu patah, sebuah jurang akan mengakhiri hidupku. Nafasku sedu-sedan,
jantungku memompa darah berlari-lari. Aku gemetar. Dan angin akhirnya
menghempasku tajam, aku jatuh.
Aku
kaget, hanya mimipi ternyata, syukurlah. Aku beranjak dari kursi tua yang telah
menemani hidupku beberapa tahun terakhir. Kayunya sudah keropos dimakan rayap. Sebuah
siklus alam yang tak terhindarkan oleh kursi tua itu. kudengar suara ombak
mendayu-dayu mengisi ruangan sore ini. Airnya meluber memakan garis pantai,
bahkan sampai menggenangi badan jalan raya pelabuhan ratu, dan macet tak dapat
terhindarkan. Mungkin, burung sedang menari-nari saat ini, mengarungi angkasa,
melepaskan kepenatan setelah menunggu hujan sejak tadi siang.
Kurang
: Konflik
Visual
|
Audio
|
Sembirat warna membias membentuk
tangga pelangi
|
Suara ombak mendayu-dayu
|
Burung menari-nari saat ini mengarungi
angkasa
|
|
|
|
Tugas
Mata Kuliah Media Pembelajaran Geografi Oleh : Dr. Ahmad Yani M.Si
0 comments:
Post a Comment