“aa iraha uih?”
Sebuah kalimat yang sederhana
muncul pada layar handphone-ku malam
ini. Hanya tiga kata namun begitu berisyarat. Isyarat itu akan menanti
kepulanganku ke sebuah kampung di peloksok sukabumi. Sebuah kampung yang jauh
dari keramaian dan hingar bingar, tak seperti
yang aku saksikan tiap harinya di kota bandung.
Kampung itu begitu sejuk. Saat
siang menjelang, aktivitas di kampung seolah berhenti, karena sedikit orang
yang berdiam di rumah. Orang-orang akan pergi kesawah dan kebun, sebagian lagi
menajadi buruh kasar di pabrik Garment
(pabrik sepatu dan baju) yang pemiliknya bangsa asing: Korea dan Jepang. Semua warga
disini murah senyum walau hidupnya tak semurah senyumannya.
Sebuah kampung yang mempunyai
jalan rusak parah. Kala motor melewati jalan kampung, dijamin tubuhmu akan
remuk, persendian terasa lepas, dan otot terkoyak hebat. Sesekali jalan itu menelean korban yang mengakibatkan luka
memar sampai patah tulang. Namun, aku sangat rindu sekali pada jalan jelek itu,
dimana aku menjadi salah satu korbannya.
Kerinduanku ini mungkin juga dirasakan
oleh adikku. Dia beranjak remaja, tepatnya kelas satu SMP dia sekolah. Badannya
gedut dan pipinya gembil. Jika berlari maka seluruh tubuhnya bergoyang hebat. Ketika
aku pulang ke rumah, maka pertengkaran pun tak dapat terhindarkan. Adu gulat menjadi permainan sehari-hari, kadang-kandang
ngadu panco, atau saling
menggelitiki. Dari semua permain itu, aku—kakanya—yang selalu unggul, namun aku
juga sering mengalah; sesekali membahagian adik. Ah, sungguh mengasyikan.
Dua orang yang sudah
membesarkanku: Bapa dan Ibu, tak ada tandingannya, aku sangat merindukannya. Kadang
dengan segala kesalahan dan kemalasan membuat hatinya tersayat. Mungkin pernah
juga meneteskan air mata, sebab kelakuaku. Aku sungguh malu. Malu pada Sang
Pencipta dan mereka kedua orang tuaku. Sungguh, semua kesalahanku ini tak dapat dilukiskan, karena betapa
banyaknya kesalahanku ini.
Aku kadang termenung sendiri, mengingat
apa yang telah kulakukan. Hanya sebuah kata maaf yang bisa kuucapkan kepada
mereka, wahai Ibu dan Ayah. Jasa-jasanya tak’an pernah terbalas. Semoga Allah
kan selalu menjaga dan memberi kesehatan.
Kata-kata sederhana yang
terkadang aku abaikan yang keluar dari mulut mereka. Kata-kata itu tentang
nasehat, “hati-hati berangkat sekolah”, “Jangan lupa baca Basmallah”. Aku seringkali
acuh seperti acuhnya aku pada angin ketika aku mengendari motor. Maaf. Detik ini, Aku hanya bisa memberi sebuah
janji bahwa aku akan membahagiakan mereka.
Saat ini, pasti dikampungku itu
padi telah menguning. Tangkainya merunduk karena tak rela menahan rantuyan biji
padi. Jalan setapak pada sawah yang berpetak berjajar bergaris-garis,
memanjang. Saluran irigasi kecil memberi dercikan suara pada alunan melodi
angin. Burung piit—burung padi—pasti berterbangan dengan ceria, mereka
bersahut-sahut, karena makanan tersedia banyak pada sawah berhektar-hektar
luasnya.
Tapi aku harus menunggu dan menahan
kerinduan, karena waktu tak memungkinkan. Namun, apabila kesempatan masih tak
mengijinkan aku akan nekat untuk pulang, karena luapan kerinduan ini bagai
gemuruh ombak yang sedang diterjang badai: bergelombah dan membentur dinding
hatiku yang telah lemah terkikis.
Maaf kan anakmu ini yang belum
bisa pulang, sungguh aku rindu rumah, rindu akan kehangatannya.
0 comments:
Post a Comment