Si Biskuit
Si Biskuit |
Matahari
sedikit demi sedikit nampak di ufuk timur. Kabut kian sumbringah melepas penat.
Ombak menari-nari dalam alunan simponi pagi. Perjalanan kemarin memang sangat
menguras tenaga, tubuh hampir remuk, Sendi-dendi hampir lepas dari pergelangan.
Tahu mengapa bisa terjadi seperti itu? coba tebak? Jalan yang berbatu hampir
sebesar kepala babilah penyebabnya, ditambah lubang-lubang yang berkeliaran di
tengah dan pinggir jalan yang tergenang air hujan. Hal yang memperparah yaitu
mobil bus mogok karena bemper depan mencium tanah, yang akibatnya bempernya
lepas, sopir kecewa, dan bus tak mau melanjutkan.
Sekitar
dua jam kami terlunta-lunta dikampung orang menunggu mobil datang. Ah sudahlah,
mungkin mobil tak akan datang? Mobil grobak truk kuning lewat, mobil dicegat
dan kami naik. Sekitar dua jam pula semua anggota tubuh terasa ringsek
terkhusus pantat.
Nampaknya
laut melupakan kejadian ganas nan gila itu. empat perahu bersender di dermaga
kayu yang kropos. Jika saja seorang dari kami itu berlari maka bisa ditebak.
Jembatan jebol dan masuk kedalam laut. Kalau tidak bisa berenang maka
siap-siaplah tenggelam.
Laut
menyapa dengan ombaknya yang halus. Aluanan mesin boat mulai menggema dan perahu siap berlayar mengaruhi laut lepas.
Ombak yang relatif tenang tak menghambat perjalanan. Sang supir fokus meniti
arah dan tujuan. Ku tilik sekitar, terlintas di bayangan bahwa “inilah
indonesia”. Tapi, ada yang membuat kecewa yang memukul perasaanku dalam-dalam.
Apa itu? namun ingin ku lontarkan sebuah pertanyaan. Inikah Taman Nasional?
Inikah Tempat yang jauh dengan polusi ? jawabannya jelas akan terucap “ya”.
Tapi lihatlah kawan laut yang terbentang luas itu. Lebih dekat lagi, lihatlah
diatasnya. Sampah bergentayang di perairairan yang katanya “Taman Nasional”.
Perjalanan
menghabiskan waktu kutang lebih 45 menit, daratan segera nampak di depan mata. Dengan
rimbun pohon yang menghiasi setiap jengkal pulau itu seolah menyambut kami. Inilah
pulau pertama yang akan kami sentuh, Pulau Handeulem.
Perahu
berlahan-lahan singgah pada dermaga kayu yang hampir persis sama dengan dermaga
di Taman Jaya. Pulau yang sempit itu ditumbuhi hanya beberapa vegetasi tumbuhan
saja. Namun yang jelas, tumbuhan disini unik. Beda dengan yang lain. Perjalanan
pun dilanjutkan. Jalan dengan luas kurang lebih tiga meter kami susuri. Hal
yang pertama kami lihat yaitu Rusa.
Rusa
itu berjumlah tiga. Satu rusa masuk ke dalam hutan. Satu rusa lagi menghilang
entah kemana. Mungkin mereka malu melihat kamu. Satu rusa lagi tetap diam.
Orang-orang mendekat, rusa itu hanya bereaksi menjauh sedikit. Satu tangan dari
kami memberikan daun. Aneh rusa itu hanya mengendus kemudian bergerak selangkah
ke belakang. Namun, ketika satu tangan dari kami menyodorkan biskuit. Rusa itu
langsung melahap. Wajahnya tampak gembira. Aneh.
Si
biskuit kini menjadi objek model bagi mata kamera. Setiap orang yang ingin
berfoto maka satu biskuit diacungkan dan rusa mendekat menjemput biskuit dengan
mulut moyong. Para monyet yang malu-malu kucing keluar dari hutan. Nampaknya
mereka cemburu terhadap perlakuan kami kepada si Biskuit. Namun sayang mereka
masih menyembunyikan wajahnya dibalik pohon.
Tak
elaknya di pulau peucang. Pulang kedua yang dikunjungi. Para babi, monyet dan
rusa bertebaran bbercengkrama ramah dengan manusia. Sempat mengobrol dengan
salah satu petugas konservasi. Hal yang terngiang-ngiang yaitu “Rusa disini
kebanyakan suka nasi daripada daun”. Ko bisa ya?
Begitu
juga dengan monyet. Mungkin jika diberi biskuit akan sama halnya dengan si
biskuit. Buktinya, monyet itu sempat mengambil salah satu makanan kotak. Sungguh
tuh monyet benar-benar bengal. Begitu
juga dengan babi yang menunggu sisa makanan yang jatuh.
Perubahan
tingkah laku ini juga disebabkan oleh manusia juga. Banyaknya wisatawan yang
datang merubah kebiasaan binatang. Biasanya makan daun jadi makan biskuit atau
nasi. Seharusnya, para wisatawan dilarang untuk memberi makanan terhadap
binatang. Biantang juga akan merubah adopsi dirinya terhadap lingkungan. Coba bayangin
ketika binatang rusa gak suka lagi daun apa jadinya?
Si
Biskuit kini hanya bergantung pada datangnya wisatawan. Setiap kali lapar dia
hanya memandang lautan dari dermaga dan bertanya “kapan para wisatawan itu
datang?” rumput yang menghijau kini dia abaikan karena tak sesuai lagi dengan
lidah dan pencernaan. Setiap kali badai si biskuit kelaparan meringis-ringis
meinta makanan kepada petugas taman nasional. Oh Biskuit sampai kapan
penderitaanmu berakhir?
Mungkin
jika si Biskuit ada di kebun biantang nasional seperti Taman Mini Indonesia
Indah atau Taman sari. Dia tak perlu mennggu. Karena setiap hari wisatawan
datang membawa sekantong biskuit. Apalagi pengelolaan yang bonafit, menambah
berat badan Si Biskuit makin gampang. Coba bayangkan, di Ujung Kolon yang jauh
dan berada di ujung jawa itu. petugas taman naisional saja kekurangan apalagi
kamu, Biskut. Mungkin inilah nasib menggariskan.
Tapi
satu harapan. Seharusnya kau merubah tingkahmu. Menjadi hewan sejati yang
survive dengan alam, karena alam tempat tinggalmu. Sekali-kali kau harus puasa
makan biskuit dan tidak tergiur oleh kawanan wisatan yang mengasongkan makanan
impor itu. Biskuit, jangan sampai kau seperti bangsa ini, sedikit-sedikit
kejaannya impor bahkan garampun diimpor. Padahal lautnya luas, tanahnya subur,
lahannya banyak.
Biskut
hanya keoptimisanlah kau bisa berubah. Sekali-kali cobalah kau bilang kepada
petugas taman nasioal. Jangan biarkan wisatawan memberi makanan candu itu.
padahal mereka tahu. Tegalah Regulasi kalau perlu ganti sistem sekalian. Supaya
Para Biskuit tidak sengsara saat badai datang.
Ah
memang produk impor memang mengenakan, instan tinggal makan. Begitupun dengan
bangsa ini, yang kadang-kadang tak menghargai produk dalam negri. Dikit-dikit
jam tangan buatan Swiss, sepatu buatan Jerman, mobil buatan Jepang. “produk dalam negri katamu? Bukalah mata,
lihatlah perusahaan asing menjamur dan bangsa kita hanyalah kuli rendahan, coba
pikir”. Perubahan tidak akan berjalan kalau parsial tapi harus sistemis
menyeluruh supaya bangsa ini lebih baik atau mungkin ini sudah nasib bangsa
kita?
Diambil dari kisah nyata penulis, ketika PKL ke Ujung Kulon pada 23 Mei 2014.
0 comments:
Post a Comment