Tuesday, November 25, 2014

Rindu Rumah



“aa iraha uih?”

Sebuah kalimat yang sederhana muncul pada layar handphone-ku malam ini. Hanya tiga kata namun begitu berisyarat. Isyarat itu akan menanti kepulanganku ke sebuah kampung di peloksok sukabumi. Sebuah kampung yang jauh dari keramaian dan  hingar bingar, tak seperti yang aku saksikan tiap harinya di kota bandung.

Kampung itu begitu sejuk. Saat siang menjelang, aktivitas di kampung seolah berhenti, karena sedikit orang yang berdiam di rumah. Orang-orang akan pergi kesawah dan kebun, sebagian lagi menajadi buruh kasar di pabrik Garment (pabrik sepatu dan baju) yang pemiliknya bangsa asing: Korea dan Jepang. Semua warga disini murah senyum walau hidupnya tak semurah senyumannya.

Sebuah kampung yang mempunyai jalan rusak parah. Kala motor melewati jalan kampung, dijamin tubuhmu akan remuk, persendian terasa lepas, dan otot terkoyak hebat. Sesekali  jalan itu menelean korban yang mengakibatkan luka memar sampai patah tulang. Namun, aku sangat rindu sekali pada jalan jelek itu, dimana aku menjadi salah satu korbannya.

Kerinduanku ini mungkin juga dirasakan oleh adikku. Dia beranjak remaja, tepatnya kelas satu SMP dia sekolah. Badannya gedut dan pipinya gembil. Jika berlari maka seluruh tubuhnya bergoyang hebat. Ketika aku pulang ke rumah, maka pertengkaran pun tak dapat terhindarkan. Adu gulat  menjadi permainan sehari-hari, kadang-kandang ngadu panco, atau saling menggelitiki. Dari semua permain itu, aku—kakanya—yang selalu unggul, namun aku juga sering mengalah; sesekali membahagian adik. Ah, sungguh mengasyikan.

Dua orang yang sudah membesarkanku: Bapa dan Ibu, tak ada tandingannya, aku sangat merindukannya. Kadang dengan segala kesalahan dan kemalasan membuat hatinya tersayat. Mungkin pernah juga meneteskan air mata, sebab kelakuaku. Aku sungguh malu. Malu pada Sang Pencipta dan mereka kedua orang tuaku. Sungguh, semua kesalahanku  ini tak dapat dilukiskan, karena betapa banyaknya kesalahanku ini.

Aku kadang termenung sendiri, mengingat apa yang telah kulakukan. Hanya sebuah kata maaf yang bisa kuucapkan kepada mereka, wahai Ibu dan Ayah. Jasa-jasanya tak’an pernah terbalas. Semoga Allah kan selalu menjaga dan memberi kesehatan.

Kata-kata sederhana yang terkadang aku abaikan yang keluar dari mulut mereka. Kata-kata itu tentang nasehat, “hati-hati berangkat sekolah”, “Jangan lupa baca Basmallah”. Aku seringkali acuh seperti acuhnya aku pada angin ketika aku mengendari motor. Maaf.  Detik ini, Aku hanya bisa memberi sebuah janji bahwa aku akan membahagiakan mereka.

Saat ini, pasti dikampungku itu padi telah menguning. Tangkainya merunduk karena tak rela menahan rantuyan biji padi. Jalan setapak pada sawah yang berpetak berjajar bergaris-garis, memanjang. Saluran irigasi kecil memberi dercikan suara pada alunan melodi angin. Burung piit—burung padipasti berterbangan dengan ceria, mereka bersahut-sahut, karena makanan tersedia banyak pada sawah berhektar-hektar luasnya.

Tapi aku harus menunggu dan menahan kerinduan, karena waktu tak memungkinkan. Namun, apabila kesempatan masih tak mengijinkan aku akan nekat untuk pulang, karena luapan kerinduan ini bagai gemuruh ombak yang sedang diterjang badai: bergelombah dan membentur dinding hatiku yang telah lemah terkikis.


Maaf kan anakmu ini yang belum bisa pulang, sungguh aku rindu rumah, rindu akan kehangatannya.


Terimakasih Sahabat Hadits Line. Jangan Lupa Komentarnya

Terimakasih telah membaca artikel berjudul Rindu Rumah yang ditulis oleh Hadits Line (Hermawan Setiawan) Komentar sahabat sangat memotivasi penulis.

0 comments:

Post a Comment