Monday, November 24, 2014

Si Biskuit

Si Biskuit
Matahari sedikit demi sedikit nampak di ufuk timur. Kabut kian sumbringah melepas penat. Ombak menari-nari dalam alunan simponi pagi. Perjalanan kemarin memang sangat menguras tenaga, tubuh hampir remuk, Sendi-dendi hampir lepas dari pergelangan. Tahu mengapa bisa terjadi seperti itu? coba tebak? Jalan yang berbatu hampir sebesar kepala babilah penyebabnya, ditambah lubang-lubang yang berkeliaran di tengah dan pinggir jalan yang tergenang air hujan. Hal yang memperparah yaitu mobil bus mogok karena bemper depan mencium tanah, yang akibatnya bempernya lepas, sopir kecewa, dan bus tak mau melanjutkan.

Sekitar dua jam kami terlunta-lunta dikampung orang menunggu mobil datang. Ah sudahlah, mungkin mobil tak akan datang? Mobil grobak truk kuning lewat, mobil dicegat dan kami naik. Sekitar dua jam pula semua anggota tubuh terasa ringsek terkhusus pantat.

Nampaknya laut melupakan kejadian ganas nan gila itu. empat perahu bersender di dermaga kayu yang kropos. Jika saja seorang dari kami itu berlari maka bisa ditebak. Jembatan jebol dan masuk kedalam laut. Kalau tidak bisa berenang maka siap-siaplah tenggelam.

Laut menyapa dengan ombaknya yang halus. Aluanan mesin boat mulai menggema dan perahu siap berlayar mengaruhi laut lepas. Ombak yang relatif tenang tak menghambat perjalanan. Sang supir fokus meniti arah dan tujuan. Ku tilik sekitar, terlintas di bayangan bahwa “inilah indonesia”. Tapi, ada yang membuat kecewa yang memukul perasaanku dalam-dalam. Apa itu? namun ingin ku lontarkan sebuah pertanyaan. Inikah Taman Nasional? Inikah Tempat yang jauh dengan polusi ? jawabannya jelas akan terucap “ya”. Tapi lihatlah kawan laut yang terbentang luas itu. Lebih dekat lagi, lihatlah diatasnya. Sampah bergentayang di perairairan yang katanya “Taman Nasional”.

Perjalanan menghabiskan waktu kutang lebih 45 menit, daratan segera nampak di depan mata. Dengan rimbun pohon yang menghiasi setiap jengkal pulau itu seolah menyambut kami. Inilah pulau pertama yang akan kami sentuh, Pulau Handeulem.

Perahu berlahan-lahan singgah pada dermaga kayu yang hampir persis sama dengan dermaga di Taman Jaya. Pulau yang sempit itu ditumbuhi hanya beberapa vegetasi tumbuhan saja. Namun yang jelas, tumbuhan disini unik. Beda dengan yang lain. Perjalanan pun dilanjutkan. Jalan dengan luas kurang lebih tiga meter kami susuri. Hal yang pertama kami lihat yaitu Rusa.

Rusa itu berjumlah tiga. Satu rusa masuk ke dalam hutan. Satu rusa lagi menghilang entah kemana. Mungkin mereka malu melihat kamu. Satu rusa lagi tetap diam. Orang-orang mendekat, rusa itu hanya bereaksi menjauh sedikit. Satu tangan dari kami memberikan daun. Aneh rusa itu hanya mengendus kemudian bergerak selangkah ke belakang. Namun, ketika satu tangan dari kami menyodorkan biskuit. Rusa itu langsung melahap. Wajahnya tampak gembira. Aneh.

Si biskuit kini menjadi objek model bagi mata kamera. Setiap orang yang ingin berfoto maka satu biskuit diacungkan dan rusa mendekat menjemput biskuit dengan mulut moyong. Para monyet yang malu-malu kucing keluar dari hutan. Nampaknya mereka cemburu terhadap perlakuan kami kepada si Biskuit. Namun sayang mereka masih menyembunyikan wajahnya dibalik pohon.

Tak elaknya di pulau peucang. Pulang kedua yang dikunjungi. Para babi, monyet dan rusa bertebaran bbercengkrama ramah dengan manusia. Sempat mengobrol dengan salah satu petugas konservasi. Hal yang terngiang-ngiang yaitu “Rusa disini kebanyakan suka nasi daripada daun”. Ko bisa ya?

Begitu juga dengan monyet. Mungkin jika diberi biskuit akan sama halnya dengan si biskuit. Buktinya, monyet itu sempat mengambil salah satu makanan kotak. Sungguh tuh monyet benar-benar bengal. Begitu juga dengan babi yang menunggu sisa makanan yang jatuh.

Perubahan tingkah laku ini juga disebabkan oleh manusia juga. Banyaknya wisatawan yang datang merubah kebiasaan binatang. Biasanya makan daun jadi makan biskuit atau nasi. Seharusnya, para wisatawan dilarang untuk memberi makanan terhadap binatang. Biantang juga akan merubah adopsi dirinya terhadap lingkungan. Coba bayangin ketika binatang rusa gak suka lagi daun apa jadinya?

Si Biskuit kini hanya bergantung pada datangnya wisatawan. Setiap kali lapar dia hanya memandang lautan dari dermaga dan bertanya “kapan para wisatawan itu datang?” rumput yang menghijau kini dia abaikan karena tak sesuai lagi dengan lidah dan pencernaan. Setiap kali badai si biskuit kelaparan meringis-ringis meinta makanan kepada petugas taman nasional. Oh Biskuit sampai kapan penderitaanmu berakhir?

Mungkin jika si Biskuit ada di kebun biantang nasional seperti Taman Mini Indonesia Indah atau Taman sari. Dia tak perlu mennggu. Karena setiap hari wisatawan datang membawa sekantong biskuit. Apalagi pengelolaan yang bonafit, menambah berat badan Si Biskuit makin gampang. Coba bayangkan, di Ujung Kolon yang jauh dan berada di ujung jawa itu. petugas taman naisional saja kekurangan apalagi kamu, Biskut. Mungkin inilah nasib menggariskan.

Tapi satu harapan. Seharusnya kau merubah tingkahmu. Menjadi hewan sejati yang survive dengan alam, karena alam tempat tinggalmu. Sekali-kali kau harus puasa makan biskuit dan tidak tergiur oleh kawanan wisatan yang mengasongkan makanan impor itu. Biskuit, jangan sampai kau seperti bangsa ini, sedikit-sedikit kejaannya impor bahkan garampun diimpor. Padahal lautnya luas, tanahnya subur, lahannya banyak.

Biskut hanya keoptimisanlah kau bisa berubah. Sekali-kali cobalah kau bilang kepada petugas taman nasioal. Jangan biarkan wisatawan memberi makanan candu itu. padahal mereka tahu. Tegalah Regulasi kalau perlu ganti sistem sekalian. Supaya Para Biskuit tidak sengsara saat badai datang.

Ah memang produk impor memang mengenakan, instan tinggal makan. Begitupun dengan bangsa ini, yang kadang-kadang tak menghargai produk dalam negri. Dikit-dikit jam tangan buatan Swiss, sepatu buatan Jerman, mobil buatan Jepang. “produk dalam negri katamu? Bukalah mata, lihatlah perusahaan asing menjamur dan bangsa kita hanyalah kuli rendahan, coba pikir”. Perubahan tidak akan berjalan kalau parsial tapi harus sistemis menyeluruh supaya bangsa ini lebih baik atau mungkin ini sudah nasib bangsa kita?

Diambil dari kisah nyata penulis, ketika PKL ke Ujung Kulon pada 23 Mei 2014.

Terimakasih Sahabat Hadits Line. Jangan Lupa Komentarnya

Terimakasih telah membaca artikel berjudul yang ditulis oleh Hadits Line (Hermawan Setiawan) Komentar sahabat sangat memotivasi penulis.

0 comments:

Post a Comment