Sunday, December 14, 2014

Bersyukur, Ini Solusi Banjir

Banyaknya intesitas hujan di Indonesia, justeru menjadi polemik. Betapa tidak setiap kali musim hujan seperti bulan ini, Desember, beberapa wilayah di Indonesia terkena banjir. Coba sebutkan provinsi  mana yang tidak terkena banjir? Hampir seluruh provinsi di Indonesia terkena banjir, terkhusus provinsi yang ada di Pulau Jawa.
Dalam kurun waktu tahun 2014, jumlah korban meninggal akibat bencana banjir, longsor, gempa, dan puting beliung di seluruh provinsi di Indonesia mencapai 355 orang. Korban yang paling banyak berada di provinsi Jakarta dengan 21 orang, yang notabene sebagai ibu kota republik ini. Banjir ini pula mengakibatkan lebih dari 30.000 orang mengungsi dari Jakarta. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) selama kurun waktu tahun 2014 telah terjadi sebanyak 1.136 kasus bencana banjir, longsor, puting beliung. Dampaknya 25 rumah rusak. Kerugian akibat banjir ini tak sedikit, trilinuan rupiah.

Banjir dipicu oleh hujan yang mengguyur deras dalam kurun waktu relatif lama. Banjir menyebabkan efek domino bencana. Ketika banjir merendam suatu daerah dimungkinan masyarakat daerah tersebut terserang penyakit. Padahal akses menuju rumah sakit sulit karena semua lahan terendam air. Puskempas menjadi “bangkai”, tak berfungsi. Belum lagi tidak berjalannya jual beli, maka akan berdampak pada perekonomian. Barang-barang yang sebelumnya lumrah menjadi sulit, seperti kebutuhan pokok. Ditambah akses yang susah untuk menyalurkan bantuan menjadi pendorong utama terjadinya kelaparan. Maka ekonomi suatu negara kemungkinan goncang dan pertambahkan nilai inflasi semakin tinggi.

Selain banjir, bencana akibat hujan yaitu longsor. Suatu daerah dengan morfologi lereng bergunung-gunung mempunyai potensi longsor yang tinggi, contohnya Jawa Barat. Suatu ketika saya pergi ke daerah longsor yang ada di desa Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat. Daerah longsorannya sangat kecil dan hanya menimpa satu rumah yang berada tepat dibawah lereng. Longsor ini mengakibatkan satu orang meninggal dunia. Longsor terjadi di sore hari setelah hujan lebat menimpa daerah itu di siang harinya.

Hujan juga menyebabkan lalu lintas menjadi merayap dan macet, karena badan air tergenang dan aspal melicin. apa yang kita rasakan ketika macet? Kesal bukan. Kemudian kita berucap tanpa sadar “ah, ini gara-gara hujan nih, jadi macet”

Dengan berbagai macam bencana yang diakibatkan hujan. Kemudian persepsi kita terbentuk bahwa ketika hujan datang maka sikap ketidaksenangan muncul. Sikap ini melihatkan bahwa hujan merupakan masalah. Apalagi dengan keluarnya kata “ah”, memperkuat bahwa hujan merupakan masalah serius. Di sisi lain, kita juga dihadapkan pada keserbasalahan atas sikap kita sendiri. Ketika turun hujan kita mengeluh. Tapi ketika panas melanda juga sama, mengeluh. Ini menunjukan ada yang salah dalam diri kita, dan sebenarnya apa yang salah dalam diri kita?

Tak salah Nabi bersabda dalam hadisnya,”Dari Ibnu Abbas Radhiallahu’anhuma, ia berkata: ketika itu hujan turun di masa Nabi Shallallahu’alahi Wassallam, lalu Nabi bersabda: ’Atas hujan ini, ada manusia yang bersyukur dan ada yang kufur nikmat. Orang bersyukur berkata: ’inilah rahmat Allah. Orang yang kufur nikmat berkata” ‘Oh pantas pantas saja tadi ada tanda begini dan begitu” (HR. Muslim)

Hujan itu berkah

“Dan menurunkan dari langit air hujan. Maka, kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuhan yang bermacam-macam. Makanlah dan gembalakanlah binatang-binatangmu. Sesungguhnya pada demikian itu, terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang yang berakal” (QS. Thaaha: 53-54)

Ayat ini sesungguhnya menjelaskan kepada kita betapa hujan itu berkah bukan musibah. Masih banyak ayat-ayat Al-Quran tentang urgensi hujan bagi kehidupan manusia. Adanya hujan merupakan pertanda bahwa kehidupan masih eksis, karena tanpa hujan tak mungkin kita menumbuhkan tanaman yang mana sebagai makanan kita. Ini adalah keberkahan dan rizki dari Allah, Sang Maha Pengasih.

Dalam ptotongan ayat surat Thaaha “....tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang yang berakal.” Hal ini menjelaskan kepada kita, bahwa orang-orang yang menggunakan pikirannya untuk iqra atas fenomena serta kejadian sekitar. Maka akan mendekatkan dia kepada Sang Maha Pencipta. Sedangkan orang yang keras hatinya dan jumud pikirannya serta menilai segala sesuatu dengan “seenaknya”. Maka kita dapat tebak, dia tidak dapat memaknai atau iqra terhadap tanda-tanda kekuasaaan Allah.

Hal ini tentu mematahkan realitas, bahwa hujan merupakan suatu “masalah” adalah hal yang salah. Ini menandakan bahwa masyrakat kurang iqra terhadap ciptaan Allah, yang justru masalahnya bukan pada hujan tapi pensikapan atas hujan itu, sebagia contoh mengatakan “ah”.

Peringatan Dari Perbuatan

Bencana banjir dan longsor sebetulnya bukanlah diakibatkan oleh hujan. Hujan hanya benda tak hidup yang jatuh ke bumi yang tergantung dari orang yang mengelolanya, karena kita tahu, hujan pada dasarnya adalah suatu keberkahan. Pengelola itu siapa lagi jika bukan manusia, karena manusia telah diberi amanah sebagai khoifah di muka bumi ini guna menjaga dan merawat bumi dengan baik.

Ketika manusia tidak menggunakan ilmu—tidak iqra—dalam  menyikapi hujan dan hanya digantungkan pada perkiraan yang berasal dari perasaan, sedangkan perasaan adalah manifestasi dari nafsu. Maka kerusakan tak dapat terelakkan, yang justeru merugikan manusia itu sendiri. Allah Swt. Berfirman:

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar-Rum: 41)

Dalam konteks ayat ini, kita dapat ambil bahwa banjir merupakan peringatan agar manusia itu sadar akan perbuatannya yang tidak bijak mengelola lingkungan. Jika diurai, permasahan banjir ini murni kesalahan manusia. Sebagai contoh, kota Sukabumi yang terkena banjir tahun ini, padahal di tahun-tahun sebelumnya belum pernah banjir. Hal ini akibat konversi lahan yang tidak memperhatikan lingkungan dan penataan bangunana yang buruk.

Keterbatasan akan lahan dan penduduk makin bertambah banyak menyebabkan alih konversi lahan semakin cepat. Lahan hijau atau lahan pertnian dikonversi menjadi pemukiman. Memang hal yang wajar jika dilakukan dengan memperhatiakan keseimbangan lingkungan lewat penataan wilayah yang baik dan merujuk pada butiran undang-udang yang berlaku.

Sayang masyarakat kita kebanyakaan masih bergelut “Bagaimana esok makan dan sore dapat uang”. Ditambah dengan kurang pedulinya pemerintah terhadap pemberian solusi bagi warga yang tinggal menyalahi aturan. Adapun pemerintah perhatian dengan pemaksaan untuk pindah, tanpa diberi solusi yang konkrit, seperti penyedian hunian baru bagi orang-orang yang tinggal menyalahi aturan dengan harga yang murah.

Secara teknik tentu banyak sekali teori untuk mengatasi bencana banjir dan longsor. Misal penghiajuan, pembautan biopori, pengedukan sungai, pembangunan canal, pelebaran sungai, dan lain-lain. Tapi anehnya, teori hanya sekedar teori, sedangkan realitas dilapangan berbeda jauh. Daerah di Indonesia makin banyak yang terkena banjir dan longsor.

Pengaplikasian teori tidak bisa dinilai suatu kegagalan, karena sudah dilakukan. Namun yang menjadi masalah adalah akhlak penduduk masih sama baik sesudah dan sebelum rekayasa teknik. Hal ini dapat kita lihat pada pengedukan sungai Ciliwung yang dilakukan setiap tahun karena proses sedimentasi—pedangkalan—akibat sampah. Sedangkan masyarakat di sekitaran sungai Ciliwung tidak mendapat sosialisasi sempurna dan utuh, yang membuatnya masih tidak peduli terhadap lingkungan di sekitarnya. Akibatnya suka buang sampah ke sungai dan lahan dekat sungai digunakan untuk perumahan yang menyebabkan badan sungai menyempit merupakan hal yang wajar-wajar saja.

Seharusnya pemerintah dengan segala upaya merubah pemikiran masyarakat akan akhlak dan kebiasaan yang tidak baik. Apalagi pemerintah sekarang mencanangkan “Revolusi Mental”. Tentu sebagai masyarakat harus menyambut baik gagasan ini. Namun dilain pihak, kita masih bingung dengan konsepan “Revolusi Mental” itu, bagaimana dan seperti caranya? Penerapannya seperti apa? Siapa yang melakukan? Dan didasarkan pada apa?  Jangan sampai gagasan tersebut menjadi slogan buta untuk mensukseskan jabatan selama kepemerintahan.

Seandainya masyarakat berpikir dan iqra terhadap semua fenomena yang ada di lingkungannya. Maka masalah seperti banjir dan tanah longsor tentu tidak akan terjadi. Apalagi disandarkan pada kesadaran islam secara utuh, pasti akan menghasilkan akhlak mulia yang merubah paragdigma buruk yang ada di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, antara pemerintah dan masyrakat harus bekerjasama dan saling berpegangan tangan dalam mengatasi masalah ini. Karena dengan kerjasama yang dihasilkan dari sebuah kemufakatan akan merubah secara cepat kondisi ke arah yang lebih baik. Kedua pihak juga harus berprilaku santun, khusunya prilaku pemerintah yang sebagai “pelayan rakyat” harus mencerminkan namanya.

Pepatah mengatakan “Bangsa yang besar adalah bangsa yang belajar dari masalalunya—sejarah”. Kalimat itu mesti dijadikan panutan dalam mengurangi resiko bencana. Dengan belajar, kita akan mengetahu mana prilaku yang benar dan mana prilaku yang salah. Hal tersebut menjadi keharusan kita—pemerintah dan masyarakat—belajar rmendalam akan akibat dan sebab bencan banjir dan longsor. Jangan dibiarkan seperti angin lalu. Masalah beres kalau banjir dan longsor sudah teratasi, tapi pengelolaan, akhlak masyarakat, dan sistem mitigasi bencana serta regulasi pemerintahan tidak diperbaiki. Percuma. Kejadian itu akan terulang lagi di tahun depan.

Maka pengalaman bukan hanya dijadikan kenangan tapi pembelajaran supaya tidak terulang lagi dikemudian hari. Kita juga harus optimis untuk mengatasi problem ini lewat pembelajaran dari runtutan pengalaman. Tidak cukupkah pengalaman akan bencana banjir dan longsor di negara ini? Tidak cukupkan peringatan yang Allah berikan yang menimpa selama ini?

Sebab Berkah Jadi Musibah

Hal yang menjadi sebab diantara sebab kenapa berkah jadi musibah di Indonesia, dari kurangnya iqra, perbaikan teknis, akhlak masyarakat, dan sorotan pemerintah, adalah kurangnya rasa syukur atas nikmat yang Allah berikan.

 “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrahim: 7)

Dalam ayat ini tersirat dua makna yaitu Allah memberikan reward bagi orang yang bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah. Kedua Punisment atas orang yang tidak bersyukur atas nikmat yang Allah berikan. Jika kita korelasikan dengan kedatangan musim hujan yang menyebabkan bajir, longsor, dan puting beliung, apakah kita suka mengucapkan “Alhamdulilah, terima kasih Ya Allah musim penghujan telah datang atau malah sebaliknya “ah musim hujan, banjir datang lagi, kerjaan keganggu, jemuran susah kering dan.....?”

Manifestasi rasa syukur begitu banyak dan beragam, tidak selalu berbentuk ucapan tapi perbuatan. Pendayagunaan diri kita untuk mengolah dan memanfaatkan air hujan merupakan bentuk syukur, misalnya membuat sistem pengelolaan air hujan agar tidak terjadi banjir dan memebersihkan aliran air baik sungai atau selokan untuk mempermudah aliran air. Hal ini sesungguhnya memberi keuntungan kepada kita, yaitu kemuliaan dan pahala dari Allah Swt, selain rasa terimakasih dari sesama manusia.

Hal yang kita indra dari masyarakat saat ini adalah kurang sekali bersyukur kepada nikmat yang Allah berikan, yang terwujud dari sikap, perbuatan, dan ucapan dalam memperlakukan lingkungan khusunya musim hujan.

“....dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” dari potongan ayat surat Ibrahim tersebut kita bisa memahami bahwa masyarakat yang mengingkari atau tidak bersyukur atas nikmat Allah akan mendapat Azab. Mungkin selama ini banjir, tanah longsor, dan angin puting beliung merupakana azab Allah, yang merupakan peringatakan kepada kita, akibat kelalaian kita sendiri.

Untuk itu sikap apatis yang membentuk masyarakat harus dikikis dengan pemaknaan dari setiap bencana yang terjadi—iqra. Rasa kepedulian kecintaan lingkungan harus ditumbuhkan sehingga dapat “menjiwai” masyarakat.

Rasa syukur pemerintah harus luar biasa lagi tak hanya omong doang di media. Tapi dengan bukti-bukti pembangunan yang berwawasan lingkungan dan mempertimbangkan segala aspek, termasuk penyikapan terhadap hujan dan musim hujan. Hal yang perlu diingat adalah rasa syukur itu harus didasarkan atas ketaauhidan Allah semata. Bukanlah pujian orang lain atau pencitraan untuk menaikan kredibilitas.

Maka ketika rasa syukur itu menjadi hal yang biasa, yang tentu dibarengi dengan ikhtiar, segala permasalahan Isya Allah akan terselesaikan segera. Banjir dan longsor hanyalah masalah kecil bagi Allah dari sekelumit ciptaan-Nya. Firman Allah:

“Jika kalian ingkar, sesungguhnya Allah Maha Kaya atas kalian. Dan Allah tidak ridha kepada hamba-Nya yang ingkar dan jika kalian bersyukur kepada Allah ridha kepada kalian.” (QS. Az-Zumar: 7)

Maka jalan mengatasi banjir adalah bagaimana kita menggungkapkan rasa syukur untuk mencari keridhoan Allah dengan penyikapan dan prilaku yang baik pada hujan dan lingkungan sekitar. Rasa syukur ini harus tumbuh bersama antara masyarakat dan pemerintah dalam ikatan kerjasama dari sebuah kemufakatan guna saling mengingatkan. Berbagai rekayasa teknik harus dilakukan dengan optimal sebagai wujud ikhtiar, bahwa kita benar-benar kholifah di muka bumi. Jadi, solusi banjir dan longsor adalah syukur kepada Allah dengan segala nikmatnya, khusunya di musim hujan.

Terimakasih Sahabat Hadits Line. Jangan Lupa Komentarnya

Terimakasih telah membaca artikel berjudul Bersyukur, Ini Solusi Banjir yang ditulis oleh Hadits Line (Hermawan Setiawan) Komentar sahabat sangat memotivasi penulis.

0 comments:

Post a Comment