Friday, December 19, 2014

Hujan Lebat dan Pasar Bau


Ahhhhhh..... Hujan kang” mukanya kesal.
“Iya, tunggu aja we

Hujan mengguyur sore ini dan kami terjebak di kesumpekan pasar Gergerkalong. Atap yang keropos tak kuasa menahan air hujan: bocor. Dan menyeribat pada pakaian kami. Bau menyengat mengisi udara yang terbang, kemudian hinggap ke hidung kami. Air meluber berwarna hitam gelap pada jalan berdebu yang menyekat-nyekat pasar.

Beberpa orang telah sibuk menutup tokonya. Toko kelontongan itu terlihat lusuh, kucel, dan kurang trurus. Kami berdua berpindah-pindah dengan membawa dua dus air mineral. Air mineral itu rencananya kami gunakan untuk acara Kalam Fair, dan acaranya tepat sekarang, jam ini. Kami termangu melihat hujan yang mengguyur deras berangin.

Ironi, itulah yang terbersit dalam pundak. Pasar tradisional ini harus direnovasi, karena kalau tidak, pasar modern yang tak merakyat itu pasti akan membumi hanguskan pasar tradisional. Dan nyatanya sekarang sudah menjadi kenyataan. Masyarakat lebih suka berkunjung ke Alfamret dan Indomaret, daripada berkunjung pada tempat sumpek ini, termasuk kami.

Sudah hampir sejam kami menunggu dan langit masih belum sudi menghentikan tangisnya. Kami berdua membisu, saling menatap, dan berbicara sedikit. Tak ada tema yang ingin kami bicarakan. Kami hanya memikirkan keberlangsungan acara tanpa air minum. Pasti para peserta serek, karena snack mengganjal dikerongkongan. Kasian mereka.

Hujan berangsur sedikit demi sedikit, pelan. Walaupun kami bersyukur karena hujan masih mengguyur, bukankah hujan itu berkah? Kami tak ingin menolak berkah. Kadang, aku aneh dengan berkah ini—hujan. Karena ketika hujan banyak bencana terjadi. Baru saja longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah, tebak terjadi karena apa? Hujan. Banjir, ah, sudah tak aneh, hujan lagi yang disalahkan. Tak salah kalau dikatakan “berkah jadi musibah”. Mudah-mudahan kita sadar.

Kami memutuskan, kami menerobos hujan dengan masing-masing membawa satu dus air mineral. Berat. Sebelumnya, aku membeli minyak goreng, entah, kenapa aku membeli itu. Hanya sebab,  aku ingat pada kompor gas yang ada dikosan.

Motor dinyalakan. Helm yang lupa dibawa, menggantung dan banjir. anehnya, helm dipakai oleh temanku itu. dia terngengeh sedikit. Namun aku paham, karena motor tak ada tempat untuk helm; di depan sudah diisi oleh dus air mineral dan ditengah pun sama, dipegang oleh aku.

Hujan rintik-rintik membasahi baju kami. Dingin menembus kulit kami. Hanya beberapa menit kami sudah sampai di depan gerbang selatan UPI. Kartu penyimpanan motor kami ambil dari dua saptam tinggi besar yang berteduh pada bangunan triplek dan diletakan di tengah jalan.

Kami beriringan jalan setengah berlari, tergesa-gesa menuju PKM yang ada di dekat Taman Bareti. Aku merunduk melihat jalan. Rembut basah kuyup. Namun, hatiku berdesir ketika kutonggakan kepala, ketika dua mata bertemu beberapa detik. Mereka berdua dalam satu payung dan berjalan agak cepat, kami juga. Entah siapa namanya, namun kusadari ini hanya salah rasa, sebab aku mengumbar pandangan. Ini hanya salah, benar-benar salah. Cepat aku melupakannya, walau beberapa kali terbersit saat berjalan melewati tangga masjid.



PKM sudah di depan mata. Dengan tubuh basah kami melewati pintu. Acara sudah bubar dan kursi sudah dirapikan. Kami langsung menuju kantor—sekre—yang ada dilantai dua. Kunci gembok terbuka dengan beberapa kode rahasia. Sepatu dibuka, kami masuk, kemudian dus air meneral kami tumpuk. Salah satu dus pecah, karena tak kuasa menahan beban. Dan Adzan bersuara lantang terdengar dari Masjid Alfurqon. Kami bersiap, kemudian pergi. 

Note: Semi-fiksi

Terimakasih Sahabat Hadits Line. Jangan Lupa Komentarnya

Terimakasih telah membaca artikel berjudul Hujan Lebat dan Pasar Bau yang ditulis oleh Hadits Line (Hermawan Setiawan) Komentar sahabat sangat memotivasi penulis.

0 comments:

Post a Comment