Wednesday, December 10, 2014

Surat Dari Gadis Berhijab Merah Marun


“Ini, sampaikan juga ya ke anggota Kalam* yang lain” mukanya merah. Suaranya halus perdu. Dia tersenyum tipis.
 “Iya..”, kataku sambil menganggukan kepala.
“Maaf itu cuma satu, sampaikan juga ke yang lainnya ya, jangan lupa”
Aku mengangguk dan tersenyum.

Dia pergi diiringi salam. Angin berhembus mengenai hijabnya yang panjang, terurai pelan. Dia memakai jilbab dan hijab merah marun. Langit mendung sore itu. Hujan rintik-rintik jatuh membasahi jalanan gerlong yang hangus sejak tadi siang. Debu mengepul dan bau aspal terisap.

Kulihat, dia  mempercepat langkahnya kemduian hilang berbelok ke arah selatan, Komplek Perumahan Angkatan Darat (KPAD). Sedangkan aku terpaku pada kertas merah jambu yang dia berikan barusan. Di kertas itu tertulis “Undangan” dan dua burung japati terbang mesra tepat dibawah aksaranya.

Hatiku berdetak cepat. Entah kenapa. Kutenangkan diriku, namun pikiranku berontak. Mungkinkah ini. Mungkinkah. Aku masih tidak percaya. Aku mencoba menahan pikiran burukku. Aku tak mau pikiran burukku ini membuyarkan semua harapan.

Jujur. Aku masih tidak mengerti. Kutatap surat itu lekat. Aksara undangan itu menusuk hatiku dan membucanhkan rasa, kemudian rasa itu  meluber kemana-mana: kecemburuan. Hujan makin membesar dan aku membeku terpaku pada tempatku—saat penyerahan surat  undangan tadi. Baju kemeja dan celana levisku basah kuyup, begitu juga dengan buku catatan kuliah yang ada di tas. Semuanya tak tersalamatkan dari guyuran hujan, kecuali tubuhku yang masih tak bisa menerima surat itu.

“Bagaimana Ini” hatiku gamang, kecemburuan masih membelenggu.

Surat itu kuletakan dalam lemari dan kukunci rapat-rapat. Surat itu tak basah, karena terbalut oleh plastik. Kakiku tak bisa diam, hilir mudik kesana kemari. Kadang aku kesal dan berguling-guling diatas kasur tak jelas. Aku menengok lemari itu lagi. Aku penasaran. Kenapa aku sedangkal ini. Padahal hanya tulisan undangan saja. mungkin bukan acara dia. Bukan pernikahan dia. Bukan resepsi dia. Kenapa aku harus khawatir. Kenapa aku harus risau. Dia itu siapa. Bukan siapa-siapa kan. Hatiku menguatkan. Aku beristigar beberapa kali.

“trek....trek...”

Dua suara kecil itu menandakan lemari telah terbuka. Surat itu ada diatas tumpukan baju. Kuambil dan kubuka pelan. Hatiku berdetak kencang.  Kuucapkan basmalah. Dan surat itu melebar seukuran kertas A5. Kubaca teliti. Entah, air mataku mencair dan hatiku pilu. Mungkin ini mimpi, kataku dalam hati. Namun, jam dinding masih berdetak dan hujan masih megnalun pelan, tak berhenti sejak sore tadi. Ini nyata.

Undangan Surat Pernikahan

Atas berkat rahmat Allah yang telah memberi rizki dan nikmat kepada kita semua. Shalawat dan salam mari kita limpahkan kepada Nabi kita tercinta, Muhammad Saw. kami selaku pihak keluarga mengundang kepada saudara/i untuk menghadiri resepsi pernikahan.

“Ali Rahmat bin Aziz Rahman”
Dengan
“Aisyah Azzahra bin Munawar Abudurahman”

Aku tak sanggup membaca kata-kata yang ada di dalam undangan itu. Aku tak sanggup meneruskan. Surat itu kulepaskan. Seketika, Aku ingin merobek surat itu dan aku ingin membakarnya. Aku sangat membeci Ali, calon suami Aisyah. Namun siapakah Ali, tak pernah aku mendengar namanya. Aku ingin menghajarnya. Aku sungguh marah dan cemburuku kembali membuncah.

Udara hening. Aku diam. Mataku hujan deras seperti hujan sore tadi. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, kenapa aku sangat cemburu. Kenapa aku sangat kesal dengan surat ini. Kenapa dengan perasaanku ini, yang tak bisa kukendalikan. Ada apakah, kenapa?

Aku bergegas mengambil air wudhu dan menunaikan beberapa rakaat shalat kiyamu lail. Dalam shalatku itu tak berhenti bayangan Aisyah mucul. Dikala takbiratul ihram dan kubaca surat Ar-Rahman, wajahnya terpangpang jelas. Ketika kuruku, suara perdunya mengalun hebat. Aku tak fokus. Bayangan itu muncul silih berganti sampai aku takhitatul akhir.

“Ya Allah, hambamu ini yang kerdil dihadapanMu, sungguh aku mencintainya, mencintai Aisyah. Kenapa Kau jodohkan dia dengan yang lain. Kenapa ya Allah. hatiku sakit, perasaanku teriris, dan akalku bertaburan tak tertata. Bukankah kau Maha Adil Ya Allah? Bukankah Kau Maha Pengasih? Bukankah kau tahu hati hamba selama ini?” pipiku sembam.

“Ya Allah, dari lubuk hati yang paling dalam. Aku tersadar, aku telah melakukan perbuatan dosa kepadaMu. Aku telah khilaf. Mengapa aku berada di jalanmu, mengkaji islam, dan mengingatkan orang, hanya karena aku mencintainya, Aisyah. Aku mengubah sikapku karenanya. Aku ikut Kajian Islam Mahasiswa karenanya. Aku lakukan semua ini karenanya. Maafkan aku Ya Allah. aku telah menafikan diriMu, zatMu, KuasaMu. Harusnya aku menyandarkan ini kepadaMu” sajadahku banjir oleh tangisanku sendiri.

“Untuk itu, bimbinglah aku Ya Allah dalam meluruskan niat ini. Hapuslah bayangan tentang dia Ya Allah. Sungguh, aku ingin melupakannya. Biaskanlah dia seperti aku biasa dengan yang lainnya, para sahabatku. Aku mohon ya Allah. Kaulah yang Maha Tahu Atas Segalanya. Kaulah yang Maha Tahu tentang isi hati ini” aku tertunduk lesu. Air mataku mengalir deras bagai sungai di musim hujan.

Aku beranjak. Sajadah kulipat. Kasur kuamparkan kembali. Aku duduk diatas kasur dan kubasuh bibirku dengan bacaan Al-Quran. Surat An-Nisa yang aku baca kala itu. Beberapa lembar kulahap. Bibirku melaju deras. Tak terasa sudah dua juz. Ketika bayangan wajah Aisyah muncul kukeraskan bacaan. Maka bayangan itu Alhamdulilah hilang. Walaupun aku sulit menerima kenyataan ini, tapi aku ikhlas dan aku bersyukur, karena aku telah tersadar bahwa cinta itu adalah Kau, Ya Allah.

****

Undangan itu telah kuberitahukan kepada semua anggota Kalam, termasuk para ketua dan jajarannya. Tepat hari senin pesta pernikahan itu berlangsung. Dan hari minggu akad pernikahan itu di gelar di Masjid Baiturrahman Cirebon. Kami berangkat kesana dengan mobil sewaan.

Akad suci telah berkumandang. Aisyah telah menjadi milik orang lain, Ali Rahmat. Kami berdoa bersama dipimpin seorang Ustad. Tak lama, Aisyah muncul dan satu kecupan hangat mendarat di keningnya. Kecupan itu dari suaminya yang telah halal beberapa menit lalu. Semua saksi pernikahan mengucap takbir bersama. Kulihat pipi aisyah merah merona.

Para saksi telah bubar. Kami—Kalam—mendekat menyalami Ali. Dan hatiku shock berat. Ali memukul pundakku dan dia berkata dengan lantang, “Sudah lama tak berjumpa sahabat kecilku, kemana saja? aku sangat rindu?”
--------------------------------------------------------------------------------
Keterangan:

*Kalam adalah singkatan Kajian Islam Mahasiswa. Salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa  yang ada di Kampus UPI, yang mengkaji segala seluk beluk Islam.

Terimakasih Sahabat Hadits Line. Jangan Lupa Komentarnya

Terimakasih telah membaca artikel berjudul Surat Dari Gadis Berhijab Merah Marun yang ditulis oleh Hadits Line (Hermawan Setiawan) Komentar sahabat sangat memotivasi penulis.

0 comments:

Post a Comment