Thursday, December 11, 2014

Tabrakan di Depan Masjid


Tarian itu bergerak di depan mukaku, namun kutatap kosong. Kemudian aku tak tahan dengan suasana ruangan Amphiteter. Aku keluar. Aku menuruni satu persatu anak tangga. Kulihat mading, hanya beberapa bongkah kertas yang telah kusut, sisi-sisinya telah lepas. Kertas itu leaflet. Ada yang berukuran besar dan kecil. Mereka saling memperebutkan lahan pada papan pengumuman. Saling mendesak hingga tak ada celah.  Bahkan ada juga yang saling menutupi. Semuanya, aku tidak tertarik.

Suara Adzan dhuhur mengalun mendayu-dayu. Aku berjalan pada sebuah masjid di Gegerkalong Tengah, Darut Tauhid. Seperti biasa; melepaskan sepatu, mengambil air wudhu, menyimpan tas di samping dekat tembok, dan melakukan shalat. Aku menjadi ma’mum masbuk kala itu.

Setelah sholat. Aku merunduk. Kupanjantkan doa-doa kepada Sang Maha Kasih, Allah Swt. Badanku lelah, pergelanganku pegal, dan aku mendadak pusing; ingin tidur. Kulihat jamaah yang lain. Ada yang terkapar.

Tiba-tiba gelap, tak ada cahaya. Kurasakan hanya satu: sebuah penyesalan. Namun, aku bingung, penyesalan apa itu. Suasana hatiku mudah berubah. Kadang aku tak bisa merasakan apa-apa. Aku terkaku. Namun satu rasa yang mengena dalam kalbuku  yaitu keterpurukan. Aku merasa terpuruk meratapi diriku sendiri.

Kegagalan akan kegagalan terbayang. Aku hanya mengepalkan tangan diatas dada. Semilir angin tertahan oleh sekat plastik yang berukuran 3 m x 50 cm, memanjang. Harusnya aku hangat tapi suhu berkata lain, aku merasakan kedinginan luar biasa.

Kini, aku mengeluarkan keringat. Aku lelah. Dan aku tidak tahu kelelahan itu disebabkan oleh apa. Disela-sela kelelahan itu, bayangan kedua wajah teduh muncul mengagetkan: kedua orangtuaku. Kemudian hilang.

Tangan hangat menyentuh kakiku. Tangan itu menghangatkan seluruh tubuhku. Suara parau menggeliat, “Bangun....Bangun..... Sudah sore”, aku terperanjak kaget.

Mataku sayu. Pening masih hinggap dikepala. Kuliahat waktu menunujukan pukul 02.00 siang. Aku membasuh mukaku dengan air di tempat wudhu. Kemudian aku melihat diriku sendiri, nampak terbalik, kiri jadi kanan dan kanan jadi kiri: cermin.  

Badanku masih tak stabil ketika aku memakai kaos kaki. Beberapa kali kaki naik turun menahan tubuh yang goncang. Begitupun ketika memakai sepatu. Perutku memanggil, aku lapar. Mentari  makin terik. Kuputuskan ke warteg yang berjarak beberapa ratus meter dari masjid ini. Warteg itu wateg yang paling murah, menurutku. Aku berjalan limbung dan tanpa sadar aku menabrak perempuan bersal biru dan berhijab biru. Hantaman itu membuat kami terjatuh. Tanpa sadar, mata kami bertemu pada satu titik. Hatiku berdesir.

“Maaf...maaf” sambil kuambil bukunya yang jatuh.
“Iya nggak papa,  saya juga minta maaf, gak ngeliat” dia merundukan pandanga
“Iya saya juga, maaf”

Kami berpisah. Kulanjutkan tujuan. Namun kenapa, aku ingin sekali menengok kebelakang, melihat perempuan yang kutabrak tadi. Aku menahan dan kupercepat langkah. Perasaan, aku kenal dengan perempuan tadi, namun siapa? Dan mungkinkah aku bertemu lagi dengannya kemudian menanyakan namanya. Aku tidak berani. Konyol benar, pikirku. Untuk apa aku menanyakan namanya. Allah lindungilah aku. 

Note: Adegan Tabrakan hanya fiksi belaka. Saya selama kuliah belum pernah tabrakan dengan perempuan apalagi santri DT. 

Terimakasih Sahabat Hadits Line. Jangan Lupa Komentarnya

Terimakasih telah membaca artikel berjudul Tabrakan di Depan Masjid yang ditulis oleh Hadits Line (Hermawan Setiawan) Komentar sahabat sangat memotivasi penulis.

0 comments:

Post a Comment