Tuesday, December 23, 2014

Maria


Suara kelas gaduh. Orang-orang hanya terdiam mendengarkan. Dosen bungkam, hanya kami berdua yang berbicara. Berdebat. Sudah satu setengah jam berlalu. Sejak dosen masuk dan membuka termin diskusi. Kami saling menghujat, menangkis, dan meruntuhkan argumen yang berasal dari pemikiran kami.

“Kenapa kau tak mengucapkan Selamat Natal? Bukankah kami selalu mengucapkan pada hari rayamu, Selamat Idul Fitri, Selamat Idul Adha? Malah kami selalu memberikan sedekah saat hari rayamu.” Intonasinya meninggi.

Aku tidak terpancing emosi. “Kita harus dudukan perkaranya, apakah kedua hari raya, idul adha/fitri sama esensinya dengan Natal? Jelas berbeda. Kami merayakan Idul fitri untuk mengingat kemenangan, yang artinya kembali ke fitri, suci. Sedangkan Natal adalah peringatan pengangkatan Nabi Isa atau Yesus menjadi Tuhan. Jika kami mengucapkan selamat hari Natal, itu berarti mengakui Tuhan yang kamu sembah, dan pengakuan akan Tuhan kamu itu  melanggar akidah atau kepercayaan kami”

Dia diam

“Sekarang bisakah kamu mengucapkan dua kalimat sahadat, “lā ilāha illa l-Lāh muḥammadar rasūlu l-Lāh?” lanjutku

“Tidak, aku tidak bisa” dia menggeleng lemah

“Nah, seperti tidak bisanya kamu mengucapkan sahadat. Seperti itu kami tidak bisa mengucapkan Selamat Natal. Tapi Islam sangatlah Toleran dan Toleransi. Kami juga menghargai peryaan umat lain, termasuk agamakamu, Kristen” suaraku perdu pelan tapi jelas.

Waktu menunjukan 10.20 siang, itu berarti waktu kuliah telah habis. Dosen tak memberikan kesimpulan apa-apa, dia menyerahkan kepada kami sepenuhnya. Dia menilai kami sudah mampu menyimulkan sendiri. Dosen keluar diiringi salam. Hari itu, mata kuliah telah habis, kecuali gadis Nasrani itu yang masih ada satu mata kuliah lagi. Aku meninggalkan ruangan. Kutatap sedikit gadis Nasrani yang ada di kursi depan, dekat dengan meja dosen. Wajahnya merah padam, mungkin dia marah. Namun, aku hanyalah menyampaikan ajaran agamaku. Kualihkan pandangan. Aku takut syaitan menggangguku.

******

Perutku berbunyi beberapa kali. Sedangkan hujan masih segan untuk berhenti. Kutengok jam, sudah jam sepuluh malam. Beras sudah habis. Persedian mie atau telur yang kubeli dari pasar Gerlong dua minggu lalu sama, sudah habis. Aku memegang perut dan mulutku bergumam, “lapar”.

“Jam segini tak ada pilihan lain selain Nasi Goreng, Kwetiaw, atau Mie goreng. Warteg dengan harga murah pasti sudah tutup” hatiku bergumam. Kuraba isi dompet, tipis. Perutku masih berontak akibat belum aku isi sejak siang tadi. Kuteguk air putih beberapa gelas untuk mengganjal, tapi perut masih berontak dan tak bisa lagi kutahan.

Hujan semakin kecil. Kuambil dompet dan kupakai jaket. Sayang aku tak punya payung. Aku menembus rintikan hujan dengan tangan kumasukan dalam-dalam pada saku jaket. Dingin terasa menyergap kulitku, padahal sudah memakai jaket.

Aku sampai pada gerobak bertuliskan “Ohim”, salah satu nasi goreng langganan mahasiswa, karena porsinya yang jumbo. Aku menyukainya, apalgi di saat lapar begini. Kupesan satu dan aku menunggu sambil melihat siaran Televisi, Indonesia Lawak Club (ILC). Aku tertawa beberapa kali dengan lelucuan Cak Lontong. Dia memaparkan survey konyolnya yang seolah rasional dan membingungkan para pelawak yang lain. Kulihat jam tangan. Sudah hampir sepuluh menit dan perutku makin melilit. Kutengok sedikit, Pa Ohim sibuk menggoreng dengan muka agak kecut, muka khasnya.

Seorang pemuda mengantarkan satu porsi nasi goreng mengepul berasap, panas. Kubuka kerupuk dengan mengucap Basmalah. Walau perutku melilit kutunggu beberapa saat agar nasi goreng tak benar-benar panas. Aku hanya teringat dengan sabda nabi, kalau meniup makanan yang panas itu tidak baik.

“Eh... Iwan, makan nasi goreng?”
Aku terperanjat kaget. Kulihat sumber suara.
“Iya” aku senyum penuh kaget. Kenapa dia ada disini? Ucapku dalam hati
Kemudian dia duduk tepat didepanku.
“Maaf ya, semua tempat sudah penuh hanya ini yang kosong”
“mangga...” aku menyilahakan

Namun entah kenapa ketika dia duduk tepat didepanku. Pandanganku menjadi kaku. Apalagi wajahnya yang tak biasa, putih bersih dan rambutnya terurai lebat. Aku mengalihkan pandangan beberapa kali. Sulit. Ingin sesegera mungkin aku menghabiskan nasi goreng ini. Tapi apakah aku sanggup dengan porsi jumbo panas ini?

“Perdebatan tadi pagi sangat seru” dia tersenyum lebar
“Iya”
“Akhirnya aku tahu, kenapa muslim sangat melarang sekali mengucapkan Natal. Awalnya aku salah paham, kenapa agama kamu tak toleran? Walaupun beberapa temanku yang muslim suka mengucapkan selamt Natal. Namun sekarang, aku mengerti.” senyumnya menngembang “Oh iya maaf tadi emosiku tersulut dan kau hebat, kau sangat taat sekali dengan agamamu. Aku suka. Aku mengapresiasi itu”
“Oh begitu”

Sebenarnya ingin sekali kubicara panjang lebar. Tapi bibirku pelu dan aku menahan itu. Apalagi ketika kutatap wajahnya. Ada sesuatu yang menancap pada perasaanku. Dan ketika kata-kata “aku suka” meluncur dari bibirnya, hatiku berdesir hebat. Aku makin kaku. Aku salah tingkah. Ada apa ini?

Nasi gorengku makin dingin dan aku memakannya terburu-buru. Beberapa kali dia mengingatkan agar tidak makan cepat-cepat. Namun aku semakin lahap, selain karena lapar, aku sangat ingin sekali pulang mengakhiri pertemuan dengan Maria, Gadis Nasrani itu, yang tepat duduk di depanku, malam ini.

“Oho..oho..oho...oho....” aku tersedak, kututup mulut supaya nasi goreng dalam mulutku tak muncrat keluar.
“Ini minum” dia menyodorkan segelas susu yang baru saja dia beli
Aku masih menutup mulutku dengan tangan.
“Ini minum” dia mendesak

Aku ingin sekali keluar kemudian memesan air mineral di warung seberang jalan. Sulit. nasi goreng berminyak banyak ini tersangkut dikenggorokan. Dan mataku tertutup menahan sakit.

“Ayo minum” dia makin medesak “nanti tenggorokanmu sakit” raut muknya khawatir.
Bagaimana ini. Dengan terpaksa aku meminum segelas susu yang dia berikan. Alhamdulilah sendakanku hilang.
“Nanti kuganti”
“Tidak usah, itu pemberianku ko, kan tadi kamu keselek”
“Jangan begitu, nanti kuganti”
“Tidak usah, tidak usah”
“Jangan-jangan, aku ganti ya sekarang”
“Tidak, tidak, aku sudah tidak ingin meminum susu lagi”
Dia menggeleng keras dan menahanku pergi memesan susu.
“Maaf ya”
“Maaf kenapa?”
“Iya pasti karena aku, kau tak mau lagi....”
Dia memotong
“Bukan-bukan, aku tak ingin saja. apalagi setelah melihatmu sesenggukan. Aku jadi takut sepertimu, keselek” Tangan halusnya menunjuk kepadaku dan dia tertawa kecil.
Aku tertunduk malu dan kalaupun kuganti uangku pasti tidak cukup.

********

Aku terbangun, kulihat sudah jam  tiga malam. Aku berbegas ke kamar mandi, mengambil wudhu. Kulipat kasurku, karena ruanganku sempit, dan kutunaikan shalat sepertiga malam—tahajud—beberapa rakaat.

Namun ada yang aneh dengan mimpiku malam ini. Wajah Maria muncul beberapa kali. Apalagi ketika kutunaikan shalat. Wajah maria semakin menjadi-jadi, terbayang. Kata-kata “aku suka” semakain terbersit. Kata-kata itu seperti candu, terus berulang. Kupejamkan beberapa kali supaya fokus—khusu. Malah suara itu makin jelas dan bayangan wajahnya yang putih, sipit, serta senyumnya bagai bunga tulip mengembang membayangiku.

Aku terdiam sambil menunggu Adzan subuh setelah bermunajat kepada-Mu. Aku semakin limbung, entahlah. Bayangnya selalu saja muncul. Kuambil buku Api Tauhid karangan Habiburahman El Shirazy, kubaca beberapa dan ketumukan kata “Hal yang paling layak dicintai adalah cinta itu sendiri, dan hal yang paling layak dimusuhi adalah permusuhan itu sendiri.”

Kata-kata membuatku semakin limbung. Jantungku berdetak kencang. Mungkinkah aku jatuh cinta kepada gadis Nasrani itu? padahal selama ini aku benci, karena selalu mennghujat agamaku?


Suara adzan menyeru, kulihat jam sudah menunjukan 04.15. Tak pikir lama aku langsung beranjak menutup pintu, pergi ke surau yang terletak beberapa ratus meter dari sini, kosanku. saat ku ayunkan langkah pertama, aku berucap pelan dalam hati, “Ya Allah jagalah hati ini, jagalah dari perbuatan yang tak Kau ridhoi, bimbinglah aku agar selalu menjadi hambu-Mu yang bertakwa, cintakanlah aku kedalam cintamu dan bencilah aku dalam salahku.”

Terimakasih Sahabat Hadits Line. Jangan Lupa Komentarnya

Terimakasih telah membaca artikel berjudul Maria yang ditulis oleh Hadits Line (Hermawan Setiawan) Komentar sahabat sangat memotivasi penulis.

0 comments:

Post a Comment