Monday, December 22, 2014

Aku Ingin Ibu Menangis

Dokumentasi Pribadi

“Aduhhh.....” Ibuku meronta sakit
“Sabar... nyerinya sebentar ini, kalo dibiarin bisa bengkak nanti tambah sakit” bapaku mengurut kaki ibu dengan telaten. Tangannya licin berminyak karena dibalut minyak kelapa.

Ibu meringis
Bapaku menguatkan

Aku hanya terdiam, tak tahu apa-apa. Aku hanya takut ibuku terjadi apa-apa. Bagaimana kalau kakinya patah? Bagaimana kalau dia tak bisa lagi berjalan? Bagaimana kalau dia tidak bisa menyaiapkan sarapan pagiku lagi? Bagaimana.....? Bagaimana....? Pertanyaan itu mencerca diriku dan membuatku khawatir, sangat khawatir.

Malam itu hanya kami bertiga dalam rumah sumpek setengah jadi, sebagian rumah masih berdindingkan bilik, sebagian lagi sudah ditembok kokoh. Dan hanya ruangan tengah yang sudah dikramik, ruang kamar hanya diplester oleh semen.

Laron mengerubung lampu neon yang panjang. Lampu itu digantungkan di kusen dekat pintu. Dan hanya lampu itu saja yang menerangi kami, sedangkan suasana kamar gelap. Ibuku telah pulas tertidur. Sedangkan bapaku masih sibuk menghaluskan kayu—kusen. Kutengok jam dinding, sudah jam sebelas malam. Mataku berat dan aku menselonjorkan tubuh. Kubaca doa yang diajarkan di madrasah beberapa minggu lalu. Aku tertidur lelap disebelah ibu.

*****

Sudah beberapa hari ibu diam di rumah. Kakinya masih belum pulih. Namun alhamdulilah sudah bisa jalan, dan pagi tadi dia menyiapkan sarapan untukku sebelum berangkat ke sekolah. Bapaku sudah sejak subuh berangkat ke sawah, menggarap beberapa petak sawah pemberian dari kakek. Kadang, ketika musim kering, kami tak bisa menutupi pinjaman dari tengkulak. Hutang kami makin menumpuk. Dan untuk membantu ekonomi keluarga. Ibu berjualan baju keliling dari kampung ke kampung, desa ke desa, dan dari kecamatan ke kecamatan.

Sore itu, hujan lebat mengguyur. Ibu terpaksa ngojek, tak seperti biasanya. Dia berprinsip uang sekecil apapun adalah uang, sayang bila dipakai untuk sekedar ngojek. Padahal jarak yang ditempuhnya tidaklah dekat, kurang lebih 7 km, ditambah jalan keliling ke desa-desa. Kakinya semakin besar saja. Dan kini kakinya diperban dan semakin tambah besar karena bengkak.

Kecelakaan itu terjadi di tanjakan paling curam di desa kami. Tanjakan Batu namanya. Berbatu sebesar kepala kerbau dan tersebar tidak merata. Aku tidak tahu persis kecelakaannya bagaimana dan seperti apa? Namun aku hanya mendengar, ketika jatuh, motor menimpa kaki ibuku. Beruntung tak sampai patah, hanya pepeur1 saja.

Ibuku mempunyai jadwal berbeda setiap harinya. Hari senin dikhususkan ke tempat yang jauh. Sedangkan hari jumat hanya disekitar kampung saja. Semakin mendekat hari jumat maka tempat yang disantroni ibu semakin dekat. Apalagi hari jumat jadwal rutin mingonan2. Dan mingonan adalah hari pengharapanku paling besar, karena ada arisan. Apalagi sudah hampir beberapa bulan nama ibuku tidak keluar. Mudah-mudahan minggu ini keluar namanya. Semoga. Dan kalau keluar, ibu akan membelikanku tas sekolah. Karena selama ini aku hanya membawa kantong plastik berwarna merah muda yang selalu kugantungkan pada gagang payung ketika hujan.

Pernah air mata ibuku meleleh, padahal hanya kata-kata saja dan aku biasa.
“Bu...bu....kata mang udin pas tadi lewat, katong plastik mah buat wadah terasi. Bukan buat wadah buku ”

*****

Ibuku tak mengenal kata libur, hanya sakit saja dia libur.  Setiap hari aku hanya bersama nenek dan kakek. Mereka berdua baik. Kadang kelakuan bengalku ini membuat nenek marah-marah. Namun ketika nenek marah, aku makin girang. Apalagi pas musim hujan, lempar payung dan berlari-lari mengelilingi buruan3.

Ibu berangkat pagi sekali, sebelum aku berangkat ke sekolah, bapakku juga begitu. Selain petani bapakau kerja bangunan lho. Makanya rumah ini dikerjakan sepenuhnya sama bapaku. Hebat kan. Ibuku berjualan baju dengan uwa4. Umur Uwa lebih tua dari ibu. Dan biasanya aku sering minta uang jajan ke Uwa. Dia sangat baik, kadang suka marah juga seperti nenek.

Pas adzan magrib biasanya ibuku baru pulang. Sedangkan aku masih mengaji di surau Cisonggom. Jaraknya lumayan jauh untuk seumuranku. Tapi teman-temanku banyak dan sangat mengasyikan. Mereka rata-rata perempuan, yang sama seperti populasi penduduk kampungku yang didominasi oleh perempuan.

Dari hari kehari, usaha jualan baju ibu cukup berkembang. Pemilik toko sangat percaya sekali kepada ibu. Hutang ibuku kepada toko jutaan, sempat ibu mengatakan itu ketika aku minta uang jajan. Pelanggan ibu juga makin banyak. Diantaranya ada yang menjadi pelanggan tetap dan ada juga menjadi pelanggan sesekali. Tapi ada juga yang nggak bayar. Karena keterbatasan modal, ibu menggunakan sistem pesan dan ke beberapa pelanggan yang dipercaya dikreditkan.

Ketika bulan suci tiba, Idul Firi, ibu mengurungkan diri untuk berlibur, dengan alasan bulan suci, bulan barokah. Sempat beberapa kali sama bapa didesak supaya libur dulu. Namun ibu menolak. Mumpung sehat, katanya. Ditambah kalau idul fitri makin banyak orang yang membeli baju dulag5, karena menurut tradisi, tak memakai baju baru di hari raya kurang afdol.

Tangan ibu luar biasa. Dari subuh menyiapkan sahur, kemudian pergi berdagang, dan sebelum magrib dia sudah pulang, menyiapkan buka. Yang membuat aku senang, ibu selalu membawa gorengan ketika pulang, besar-besar. Gorengan itu biasanya campur, ada bala-bala, teci, dan kroket. Kalau ada uang lebih, ibu biasanya membeli kolak atau es.

***************

Sudah hampir empat belas tahun, sampai saat ini. Ibuku tak bosan mengelilingi kampung orang, hanya sebongkah senyum yang menghiasi mukanya. Kerja kerasnya semata untuk meningkatkan ekonomi keluarga agar terhindar dari kemiskinan dan keridhoan dari Sang Maha Kuasa. Apalagi tetanggaku sering menggulirkan ejekan-ejekan yang kurang sedap. Namun ibuku tetap sabar dan tabah. Biarlah mereka mengejek yang penting kita tak mengejek orang, katanya suatu hari.

Selama itu pula dua kakekku sudah meninggal dunia dan semoga mereka ditempatkan pada tempat yang sebaik-baiknya oleh Allah Swt. Susah, senang, sedih, dan sakit semuanya kami lewati bersama. Hingga suatu waktu, selama beberapa bulan ibuku berhenti berdagang karena sedang mengandung. Seusai melahirkan ibuku kembali lagi berdagang.

Tubuhnya makin menyusut dari hari kehari. Rambutnya kini ditumbuhi uban dan matanya semakin dalam. Dia juga sering sakit, khusunya sakit kepala dan sakit badan. Kadang sakitnya itu dia hiraukan, dia memaksa menjemput rizki dengan tenaga seadanya, berkeliling kampung menawarkan pakaian.

Dan yang membuat aku makin sedih adalah sampai saat ini, aku belum bisa berbuat apa-apa. Tak pernah dia menangis bahagia akan perbuatanku. Malah aku sering membuatnya sedih. Pernah air matanya bercucuran karena kelakuan busukku. Hanya saja, ketika aku sudah sadar, aku sering membawanya dalam doa seusai shalat. Aku ingin ibu melihat ku sukses, karena itu yang sering dia ucapkan ketika aku pulang, semoga sukses, jangan lupa sama ibu. Dan aku berjuang mewujudkan itu semoga Allah mempermudah. Harapanku,  semoga ibu bisa rehat suatu hari nanti, tak menajajakan baju lagi ke segala kampung. Karena kau tahu, dia semakin tua dan aku tak kuasa menahan tangis ketika dia terluka. Dan juga aku berharap Ibu bisa menangis sekali lagi karena bangga punya anak sepertiku.

Dokumentasi Pribadi

Selamat hari Ibu
Jasa dan kasihmu tak akan pernah terbalas sepanjang masa

Hari ulang tahun ibuku: 4-Mei-1973

Note:
1Pepeur = Bengkak, biasanya salah urat
2Mingonan = Shalawatan
3buruan = Lapangan
4Uwa = Kakak Bapa
5Baju Dulag = Baju Baru

Terimakasih Sahabat Hadits Line. Jangan Lupa Komentarnya

Terimakasih telah membaca artikel berjudul Aku Ingin Ibu Menangis yang ditulis oleh Hadits Line (Hermawan Setiawan) Komentar sahabat sangat memotivasi penulis.

0 comments:

Post a Comment