Tuesday, December 9, 2014

Jangan Tanyakan Kerjaku Apa


Beberpa menit yang lalu nada dering HP-ku mengalun deras. Satu sms masuk, entah dari siapa. Sedangkan aku masih tergantung di atas gedung dengan tali yang diikatkan ke tubuh. Aku mengelap kaca-kaca gedung yang lebarnya beratus kali lipat kaca jendela rumah, seperti lapangan sepak bola. Sebenarnya pula, aku dilarang keras oleh mandor dan juga aturan, membawa HP sedang bekerja. Tapi aku memaksa hingga mereka kalah argumen. Aku beralasan dengan alasan yang cendrung diada-adakan. Satu hal  yang membuatku nekat membawa Hp ini. Hal itu adalah aku mencintai Istriku.

Dia sering marah jika telponnya tak dijawab atau smsnya tak direspon. Istriku adalah istri yang baik, walau obrolan orang selalu miring tentang istriku. Tapi aku selalu mempertahankan, bahwa istriku itu baik dan nurut pada suami.

Hp itu masih bergetar hebat, nada deringnya masih mengalun mesingi udara yang melayang di sekitar gedung. Ini telpon, bukan sms lagi, kataku dalam hati. Dan aku meminta orang-orang diatas gedung untuk menarik tali. Mandor tampak kesal. Kubiarkan saja. Hanya butuh waktu beberapa menit, aku sudah di atap gedung.

Kulihat HP itu, beberapa kali panggilan telah masuk dan ada satu sms. Kubuka palan. Hatiku tersentak hebat dan aku tak percaya ini. Ada apa dengan istriku. Sms itu lugas dan jelas, “kerjamu apa? Dasar lelaki tak bisa cari nafkah”.  Pikiranku mencoba mengelak. Ini bukan istriku. Kucek lagi nomer pengirim sms itu. Benar ternyata istriku. Ku cocokan nomer pengirim sms dengan dengan nomer kontak istriku. Sama. Nomer kontak istriku itu kunamakan “sayang”. Dan nama “sayang” terpangpang jelas di inbox yang barusan kubuka.

Mengapa istriku menulis sms seperti itu. tak pikir lama. Aku langsung pergi dari pekerjaan mengelap kaca gedung. Rasa benciku muncul pada pekerjaanku ini. Mandor menahan. Namun aku lurus mendekat sebuah lift. Aku diam dan tak berkata apa-apa, hanya saja mukaku memerah.

Istriku pasti berada di kantornya. Hanya beberapa ratus meter dari gedung ini. Aku berjalan cepat, kemudian setengah berlari, dan kaki tak dapat menahan lagi, aku berlari sekencang-kencangnya. Dalam tempo sekejap. Gedung tempat istriku bekerja sudah di depan mata. Sebuah bank tepatnya. Kemudian pintu kaca kudorong. Dua orang pelayan menyambut.

“Selamat datang, ada yang bisa dibantu”
“boleh bertemu dengan ibu Firda, saya suaminya”
“Oh begitu, tapi sekarang jam kerja pak, mungkin bapak bisa menunggu saja, karena 30 menit lagi istirahat”

Namun aku mendesak. Aku mendesak. Berbagai alasan aku keluarkan. Perdebatan mulut itu terjadi hebat. Saptam sempat menoleh beberpa kali. Aku tak peduli. Pelayan itu meletakan gagang telepon di telinga kananya. Satu dua ucap suara dia katakan. Mungkin dia memnita izin kepada atasan atau manager.

“Iya, bapak silahkan masuk, jangan lama-lama ya pak”

Aku langsung melibbas. Emosiku makin menanjak. Kenapa dia katakan ini kepadaku, kata-kata dari isi sms itu masih tertera hebat di pikiranku. Aku menuju pada kursi dengan ruangan berukuran 4x5 meter, ruangan sekertaris.

Tanpa mengetuk pintu atau salam, aku langsung menerabas pintu membantingkan pintu. Namun ternyata. Pikiranku tersentak hebat. Aku bagai terjun diatas gedung. Aku bagai tertimpa batu besar berton-ton lalu meremukan tubuhku. Hatiku remuk.

Aku diam melihat tajam. Kemudian mata istriku menatap balik. Tubuhku berbalik dan kulemparkan pintu sekencang-kencangnya. Orang-orang disekitar tempat itu—pegawai—menatapku ku aneh.

“Tunggu...” tangannya menarik tanganku.
Tubuhku berbalik. Aku langsung menamparnya.
“Dasar istri jalang, gak tau diuntung. Jadi selama ini kau melakukan kebusukan dengan orang berdasi itu. hah. Dasar pelacur” aku geram aku marah. Marah besar.
“Maaf aku hilap.. Maa..”
Aku memotong
“Maaf busuk. Perempuan goblok”
“Apa?” intonasinya meninggi, “goblok, tak tau diuntung. Yang goblok dan tak tau diuntung itu kamu. Apakah selama ini gajimu itu cukup? Dasar pengelap jendela gedung. Pekerjaanmu itu kotor. Kalau selama ini aku tidak kerja. Mana mungkin kita bisa membeli rumah, membeli mobil, membeli perlengkaan bayi kita, dan membeli segalanya. Gajimu itu tak cukup mas, kecil” dia berkaca-kaca, kemudian tangasinnya meleleh.
“Oh jadi itu alasan dibalik senyum manismu selama ini. Sungguh aku tak pernah memakai uangmu. Bukankah uangmu itu selalu kau tabungkan.Bukankah selama ini yang membayar cicilan rumah tiap bulan itu aku. Dan kenapa kau tak berterus terang, kenapa?”
“Itu Karena kau selalu sibuk dengan waktumu, mas. Kau selalu pulang malam”
“Sibuk, bukankah aku pulang hanya setelah isya. Itu masih sore. Bukankah kau yang selalu pulang malam. Hah. Bahkan yang menidurkan bayipun aku”
“Tappi....”
Aku menyela
“Dan sungguh aku sakit dengan perbuatan kejimu. Dan sekarang aku sadar, aku sadar betul. Ini semua keslahanku. Kenapa aku membiarkanmu kerja. Kenapa aku tak memberikan rizki yang layak untukmu. Dan kenapa aku mau menjadi suamimu yang dari dulu aku sudah tahu kelakuan busukmu”

Aku pergi dan dia menangis keras. Tubuhnya ambruk diatas lantai. Hatiku telah pecah, kuusap air mata yang terus meleleh. Aliran darahku beku dan nadiku tak bersuara. Waktu berhenti. Aku lari sekencang-kencangnya menjauhi gedung itu. sekarang. Aku hanya ingin terbang dengan sabun, lap, dan kacang gedung. 

Terimakasih Sahabat Hadits Line. Jangan Lupa Komentarnya

Terimakasih telah membaca artikel berjudul Jangan Tanyakan Kerjaku Apa yang ditulis oleh Hadits Line (Hermawan Setiawan) Komentar sahabat sangat memotivasi penulis.

0 comments:

Post a Comment