Dokumentasi Pribadi |
“Aduhhh.....” Ibuku meronta sakit
“Sabar... nyerinya sebentar ini, kalo
dibiarin bisa bengkak nanti tambah sakit” bapaku mengurut kaki ibu
dengan telaten. Tangannya licin berminyak karena dibalut minyak kelapa.
Ibu meringis
Bapaku menguatkan
Aku hanya terdiam, tak tahu apa-apa.
Aku hanya takut ibuku terjadi apa-apa. Bagaimana kalau kakinya patah? Bagaimana
kalau dia tak bisa lagi berjalan? Bagaimana kalau dia tidak bisa menyaiapkan
sarapan pagiku lagi? Bagaimana.....? Bagaimana....? Pertanyaan itu mencerca
diriku dan membuatku khawatir, sangat khawatir.
Malam itu hanya kami bertiga dalam
rumah sumpek setengah jadi, sebagian rumah masih berdindingkan bilik, sebagian
lagi sudah ditembok kokoh. Dan hanya ruangan tengah yang sudah dikramik, ruang
kamar hanya diplester oleh semen.
Laron mengerubung lampu neon yang
panjang. Lampu itu digantungkan di kusen dekat pintu. Dan hanya lampu itu saja
yang menerangi kami, sedangkan suasana kamar gelap. Ibuku telah pulas tertidur.
Sedangkan bapaku masih sibuk menghaluskan kayu—kusen. Kutengok jam dinding,
sudah jam sebelas malam. Mataku berat dan aku menselonjorkan tubuh. Kubaca doa
yang diajarkan di madrasah beberapa minggu lalu. Aku tertidur lelap disebelah
ibu.
*****
Sudah beberapa hari ibu diam di rumah.
Kakinya masih belum pulih. Namun alhamdulilah sudah bisa jalan, dan pagi tadi
dia menyiapkan sarapan untukku sebelum berangkat ke sekolah. Bapaku sudah sejak
subuh berangkat ke sawah, menggarap beberapa petak sawah pemberian dari kakek.
Kadang, ketika musim kering, kami tak bisa menutupi pinjaman dari tengkulak.
Hutang kami makin menumpuk. Dan untuk membantu ekonomi keluarga. Ibu berjualan
baju keliling dari kampung ke kampung, desa ke desa, dan dari kecamatan ke
kecamatan.
Sore itu, hujan lebat mengguyur. Ibu
terpaksa ngojek, tak seperti
biasanya. Dia berprinsip uang sekecil apapun adalah uang, sayang bila dipakai
untuk sekedar ngojek. Padahal jarak
yang ditempuhnya tidaklah dekat, kurang lebih 7 km, ditambah jalan keliling ke
desa-desa. Kakinya semakin besar saja. Dan kini kakinya diperban dan semakin
tambah besar karena bengkak.
Kecelakaan itu terjadi di tanjakan paling
curam di desa kami. Tanjakan Batu namanya. Berbatu sebesar kepala kerbau dan
tersebar tidak merata. Aku tidak tahu persis kecelakaannya bagaimana dan
seperti apa? Namun aku hanya mendengar, ketika jatuh, motor menimpa kaki ibuku.
Beruntung tak sampai patah, hanya pepeur1
saja.
Ibuku mempunyai jadwal berbeda setiap
harinya. Hari senin dikhususkan ke tempat yang jauh. Sedangkan hari jumat hanya
disekitar kampung saja. Semakin mendekat hari jumat maka tempat yang disantroni
ibu semakin dekat. Apalagi hari jumat jadwal rutin mingonan2. Dan mingonan
adalah hari pengharapanku paling besar, karena ada arisan. Apalagi
sudah hampir beberapa bulan nama ibuku tidak keluar. Mudah-mudahan minggu ini
keluar namanya. Semoga. Dan kalau keluar, ibu akan membelikanku tas sekolah. Karena
selama ini aku hanya membawa kantong plastik berwarna merah muda yang selalu
kugantungkan pada gagang payung ketika hujan.
Pernah air mata ibuku meleleh,
padahal hanya kata-kata saja dan aku biasa.
“Bu...bu....kata mang udin pas tadi lewat, katong plastik mah buat wadah terasi. Bukan buat wadah buku ”
*****
Ibuku tak mengenal kata libur, hanya
sakit saja dia libur. Setiap hari aku hanya
bersama nenek dan kakek. Mereka berdua baik. Kadang kelakuan bengalku ini
membuat nenek marah-marah. Namun ketika nenek marah, aku makin girang. Apalagi pas
musim hujan, lempar payung dan berlari-lari mengelilingi buruan3.
Ibu berangkat pagi sekali, sebelum
aku berangkat ke sekolah, bapakku juga begitu. Selain petani bapakau kerja
bangunan lho. Makanya rumah ini
dikerjakan sepenuhnya sama bapaku. Hebat kan.
Ibuku berjualan baju dengan uwa4.
Umur Uwa lebih tua dari ibu. Dan
biasanya aku sering minta uang jajan ke Uwa.
Dia sangat baik, kadang suka marah juga seperti nenek.
Pas adzan magrib biasanya ibuku baru
pulang. Sedangkan aku masih mengaji di surau Cisonggom. Jaraknya lumayan jauh
untuk seumuranku. Tapi teman-temanku banyak dan sangat mengasyikan. Mereka
rata-rata perempuan, yang sama seperti populasi penduduk kampungku yang
didominasi oleh perempuan.
Dari hari kehari, usaha jualan baju
ibu cukup berkembang. Pemilik toko sangat percaya sekali kepada ibu. Hutang
ibuku kepada toko jutaan, sempat ibu mengatakan itu ketika aku minta uang
jajan. Pelanggan ibu juga makin banyak. Diantaranya ada yang menjadi pelanggan
tetap dan ada juga menjadi pelanggan sesekali. Tapi ada juga yang nggak bayar. Karena keterbatasan modal,
ibu menggunakan sistem pesan dan ke beberapa pelanggan yang dipercaya
dikreditkan.
Ketika bulan suci tiba, Idul Firi,
ibu mengurungkan diri untuk berlibur, dengan alasan bulan suci, bulan barokah.
Sempat beberapa kali sama bapa didesak supaya libur dulu. Namun ibu menolak. Mumpung sehat, katanya. Ditambah kalau
idul fitri makin banyak orang yang membeli baju dulag5, karena menurut tradisi, tak memakai baju baru di
hari raya kurang afdol.
Tangan ibu luar biasa. Dari subuh
menyiapkan sahur, kemudian pergi berdagang, dan sebelum magrib dia sudah
pulang, menyiapkan buka. Yang membuat aku senang, ibu selalu membawa gorengan
ketika pulang, besar-besar. Gorengan itu biasanya campur, ada bala-bala, teci, dan kroket. Kalau ada uang lebih, ibu
biasanya membeli kolak atau es.
***************
Sudah hampir empat belas tahun,
sampai saat ini. Ibuku tak bosan mengelilingi kampung orang, hanya sebongkah
senyum yang menghiasi mukanya. Kerja kerasnya semata untuk meningkatkan ekonomi
keluarga agar terhindar dari kemiskinan dan keridhoan dari Sang Maha Kuasa.
Apalagi tetanggaku sering menggulirkan ejekan-ejekan yang kurang sedap. Namun
ibuku tetap sabar dan tabah. Biarlah
mereka mengejek yang penting kita tak mengejek orang, katanya suatu hari.
Selama itu pula dua kakekku sudah
meninggal dunia dan semoga mereka ditempatkan pada tempat yang sebaik-baiknya
oleh Allah Swt. Susah, senang, sedih, dan sakit semuanya kami lewati bersama.
Hingga suatu waktu, selama beberapa bulan ibuku berhenti berdagang karena
sedang mengandung. Seusai melahirkan ibuku kembali lagi berdagang.
Tubuhnya makin menyusut dari hari
kehari. Rambutnya kini ditumbuhi uban dan matanya semakin dalam. Dia juga
sering sakit, khusunya sakit kepala dan sakit badan. Kadang sakitnya itu dia
hiraukan, dia memaksa menjemput rizki dengan tenaga seadanya, berkeliling kampung
menawarkan pakaian.
Dan yang membuat aku makin sedih
adalah sampai saat ini, aku belum bisa berbuat apa-apa. Tak pernah dia menangis
bahagia akan perbuatanku. Malah aku sering membuatnya sedih. Pernah air matanya
bercucuran karena kelakuan busukku. Hanya saja, ketika aku sudah sadar, aku
sering membawanya dalam doa seusai shalat. Aku ingin ibu melihat ku sukses,
karena itu yang sering dia ucapkan ketika aku pulang, semoga sukses, jangan lupa sama
ibu. Dan aku berjuang mewujudkan itu
semoga Allah mempermudah. Harapanku,
semoga ibu bisa rehat suatu hari nanti, tak menajajakan baju lagi ke
segala kampung. Karena kau tahu, dia semakin tua dan aku tak kuasa menahan
tangis ketika dia terluka. Dan juga aku berharap Ibu bisa menangis sekali lagi
karena bangga punya anak sepertiku.
Dokumentasi Pribadi |
Selamat hari Ibu
Jasa dan kasihmu tak akan pernah terbalas sepanjang masa
Hari ulang tahun ibuku: 4-Mei-1973
Note:
1Pepeur = Bengkak, biasanya salah urat
2Mingonan = Shalawatan
3buruan = Lapangan
4Uwa = Kakak Bapa
5Baju Dulag =
Baju Baru
0 comments:
Post a Comment