“Menurut Steidensticker & Soejono, hariamau Jawa telah punah pada tahun 1971 di Suaka Margasatwa Muara Betiri. Pada desermber 1996, CITEIS memfonis bahwa harimau jawa telah Penuh”
Perburuan Harimau Jawa (www.mongabay.co.id)
Harimau jawa adalah mamalia yang hidup
di seluruh hutan hujan tropis pualau jawa. Harimau jawa masih mempunyai kerabat
dengan harimau bali, kaspia, sumatra, dan di daratan asia lain. Mamalia ini
terdiri atas delapan subsepesies. Mulanya, perseberan harimau di Asia berasal
dari Tigris, salah satu daerah di kawasan Timur Tengah. Kemudian menyebar ke
daerah sekitar laut Kaspia, Siberia, masuk ke India, Indochina (Kamboja,
Vietnam, Laos), Semenanjung Malaya, dan tersebar di wilayah Indonesia (Jawa,
Sumatra, Bali).
Harimau jawa jantan mempunyai berat
150-200 kg dengan panjang 2-2,5 meter. Sedangkan hariamu betina mempunyai berat
lebih ringan, yaitu 15-115 kg dan lebih pendek dari harimau jantan. Besarnya
tubuh harimau jawa ini disebabkan adanya kompetisi dengan Macam Tutul dan Ajax.
Harimau jawa mempunyai kekerabatan yang sangat dekat dengan harimau
bali. Naasnya, harimau bali pun berstatus punah. Namun harimau bali mempunyai
tubuh lebih pendek dan tidak seberat harimau jawa disebabkan kompetisi yang
tidak seketat jawa. Harimau lain yang dinyatakan punah adalah harimau kaspia. Secara
prinsip, semakin jauh mamalia ini dari garis khatulistiwa, maka tubuhnya
semakin besar. Hal ini disebabkan oleh penyesuain iklim relatif dingin dan
kondisi lingkungan yang lebih ganas.
Pada abad 19, harimau jawa masih
banyak ditemukan di berbagai hutan pulau jawa. Setelah terjadi Cultur Stetsel atau tanam paksa yang
akibatnya lahan hutan banyak dibuka untuk lahan perkebunan. Maka habitat
mamalia ini terus menyusut. Ditambah dengan banyaknya pemburu liar, karena
kulitnya mempunyai harga tinggi. Disisi lain hewan ini dianggap hama, karena
sering masuk daerah perkebunan.
Pada tahun 1938, hutan tropis yang
ada di pulau jawa masih 25% dengan populasi penduduk saat itu 28 juta jiwa.
Kemudian pada tahun 1975, hutan tropis mengalami penyusutan hebat menjadi 8%
dengan populasi penduduk 85 juta jiwa. Kebutuhan lahan akan
pertaniah—persawahan—menjadi salah satu akibatnya. Apalagi penduduk di pulau
jawa kurang peduli dengan mamalia ini. Maka tahun 1950, diperkirakan pupulasi
harimau jawa hanya tinggal 25 ekor. Sepuluh tahun kemudian pada tahun 1972,
harimau jawa hanya tinggal 7 ekor, hasil ini didasarkan penelitian
Steidensticker & Soejono di Taman Nasional Muara Betiri.
Selain itu kepunahan mamalia ini
didukung dengan berbagai kondisi dan peristiwa, atara lain:
Walaupun status hewan ini dinyatakn
punah, tapi masih terjadi perdebatan alot, apakah hewan ini benar-benar punah
atau tidak? Berbagai pihak masih menduga harimau jawa masih belum punah. Banyak
statment yang mendukung pernyataan
ini, seperti Tahun 1990 Pusat Informasi Pecinta Alam (PIPA) Besuki menyatakan
menemukan jejak kaki harimau jawa. Tahun 1997 tim ekspedisi PL-Kapai ’97
mengklaim menemukan bekas aktivitas harimau jawa meliputi feses, cakaran di
pohon, jejak tapak kaki dan rambut. Walaupun sampel temuan rambut baru
teridentifikasi sebagai milik harimau jawa setelah dianalisis pada tahun 2001.
Agustus 2004 penduduk tepi kawasan TNMB menemukan feses harimau jawa.
Pada tahun 1999, tepatnya bulan april
pendidikan lingkungan KPAI membongkar kelebatan hutan gunung slamet disisi
barat dan selatan selama 15 hari. Hasil temuan berupa cakaran di pohon dengan
rambut yang terselip, juga kotoran dan jejak. Keberadaan harimau jawa ini
diperkuat dengan pembunuhan mamalia tersebut oleh masyarakat Puncen pada tahun
1997. Sisa pembuhuhan mamalia tersebut berhasil dindentifikasi dengan mikrosop
elektron bahwa mamalia tersebut benar-benar harimau jawa.
Respon terhadap kepunahan harimau
jawa pun bermuculan. Pada akhir 1998 diadakan Seminar Nasional di UC UGM yang
berhasil memutuskan harus dilakukan “Peninjauan Kembali” atas klaim punahnya
satwa ini. Serta berbagai pertemuan dan seminar lain untuk membatah atas satus
“musnah” oleh Lembaga Internasional, CITEIS. Dalam artikel yang ditulis Didik
Rahardjo pada tahun 2005 berjudul “Jejak Harimau Loreng Tidak Hanya Digunung
Kidul” dijelaskan, kehadiran harimau jawa tersisia dapat dibuktikan dari
aktivitas dan sisa tubuhnya.
Menurut Wahyu Giri dalam
presentasinya berjudul “Mengapa Kami Menolak Harimau Jawa Punah” mengatakan
bahwa penelitian yang dilakukan WWF selama ini hanya terpasang sepuluh kamera
dari duapuluh kamera yang harusnya dipasang.
Bukti baru pada tahun 2009 didapat
sample kulit harimau loreng yang dibunuh di jawa tengah. Secara mikroskopis,
untuk rambutnya sudah menunjuk ke hariamau jawa dan bukan tutul; tetapi hasil
analisis ke tingkat lanjut, DNA belum dapat disimpulkan. Terakhir pada tahun
2013, ditemukan potongan bulu harimau di jawa timur.
Polemik yang terjadi pada mamalia ini
terkait punah atau tidaknya, harusnya menjadi pelajaran bagi masyarakat
Indonesia dan segala steckholder yang
mempunyai peran dan kebijakan atas satwa yang endemik dan terancam punah.
Karena pada kasus lain banyak satwa yang kritis, seperti badak jawa dan gajah
sumatra yang perlu penyelamatan extra.
Penyesalan akan hadir diakhir setelah hilang dan musnahnya hewan terkait.
Tidak salah bahwa Allah berfirman
dalam Al-Quran, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena
perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar). Katakanlah
(Muhammad), “Bepergianlah di bumi lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang
dahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan
(Allah).” (Q.S. Ar Rum (30) : 41-42)
Untuk itu sebagai kholifah dimuka
bumi ini haruslah mempunyai pola pikir mendalam atas segala permasalahan, juga peduli
dan bijak dalam membuat kebijakan. Seutuhnya, alam rusak dan tidaknya
tergantung manusia berlaku dan bersikap pada lingkungan alam.
Referensi:
|
0 comments:
Post a Comment