Beberpa menit yang lalu nada dering HP-ku mengalun deras. Satu sms masuk, entah dari siapa. Sedangkan aku masih tergantung di atas gedung dengan tali yang diikatkan ke tubuh. Aku mengelap kaca-kaca gedung yang lebarnya beratus kali lipat kaca jendela rumah, seperti lapangan sepak bola. Sebenarnya pula, aku dilarang keras oleh mandor dan juga aturan, membawa HP sedang bekerja. Tapi aku memaksa hingga mereka kalah argumen. Aku beralasan dengan alasan yang cendrung diada-adakan. Satu hal yang membuatku nekat membawa Hp ini. Hal itu adalah aku mencintai Istriku.
Dia
sering marah jika telponnya tak dijawab atau smsnya tak direspon. Istriku
adalah istri yang baik, walau obrolan orang selalu miring tentang istriku. Tapi
aku selalu mempertahankan, bahwa istriku itu baik dan nurut pada suami.
Hp
itu masih bergetar hebat, nada deringnya masih mengalun mesingi udara yang
melayang di sekitar gedung. Ini telpon,
bukan sms lagi, kataku dalam hati. Dan aku meminta orang-orang diatas
gedung untuk menarik tali. Mandor tampak kesal. Kubiarkan saja. Hanya butuh waktu
beberapa menit, aku sudah di atap gedung.
Kulihat
HP itu, beberapa kali panggilan telah masuk dan ada satu sms. Kubuka palan.
Hatiku tersentak hebat dan aku tak percaya ini. Ada apa dengan istriku. Sms itu
lugas dan jelas, “kerjamu apa? Dasar
lelaki tak bisa cari nafkah”. Pikiranku mencoba mengelak. Ini bukan istriku.
Kucek lagi nomer pengirim sms itu. Benar
ternyata istriku. Ku cocokan nomer pengirim sms dengan dengan nomer kontak istriku.
Sama. Nomer kontak istriku itu kunamakan “sayang”. Dan nama “sayang”
terpangpang jelas di inbox yang barusan kubuka.
Mengapa
istriku menulis sms seperti itu. tak pikir lama. Aku langsung pergi dari
pekerjaan mengelap kaca gedung. Rasa benciku muncul pada pekerjaanku ini.
Mandor menahan. Namun aku lurus mendekat sebuah lift. Aku diam dan tak berkata apa-apa, hanya saja mukaku memerah.
Istriku
pasti berada di kantornya. Hanya beberapa ratus meter dari gedung ini. Aku
berjalan cepat, kemudian setengah berlari, dan kaki tak dapat menahan lagi, aku
berlari sekencang-kencangnya. Dalam tempo sekejap. Gedung tempat istriku bekerja
sudah di depan mata. Sebuah bank tepatnya. Kemudian pintu kaca kudorong. Dua
orang pelayan menyambut.
“Selamat
datang, ada yang bisa dibantu”
“boleh
bertemu dengan ibu Firda, saya suaminya”
“Oh
begitu, tapi sekarang jam kerja pak, mungkin bapak bisa menunggu saja, karena
30 menit lagi istirahat”
Namun
aku mendesak. Aku mendesak. Berbagai alasan aku keluarkan. Perdebatan mulut itu
terjadi hebat. Saptam sempat menoleh beberpa kali. Aku tak peduli. Pelayan itu
meletakan gagang telepon di telinga kananya. Satu dua ucap suara dia katakan.
Mungkin dia memnita izin kepada atasan atau manager.
“Iya,
bapak silahkan masuk, jangan lama-lama ya pak”
Aku
langsung melibbas. Emosiku makin menanjak. Kenapa dia katakan ini kepadaku,
kata-kata dari isi sms itu masih tertera hebat di pikiranku. Aku menuju pada
kursi dengan ruangan berukuran 4x5 meter, ruangan sekertaris.
Tanpa
mengetuk pintu atau salam, aku langsung menerabas pintu membantingkan pintu.
Namun ternyata. Pikiranku tersentak hebat. Aku bagai terjun diatas gedung. Aku
bagai tertimpa batu besar berton-ton lalu meremukan tubuhku. Hatiku remuk.
Aku
diam melihat tajam. Kemudian mata istriku menatap balik. Tubuhku berbalik dan
kulemparkan pintu sekencang-kencangnya. Orang-orang disekitar tempat
itu—pegawai—menatapku ku aneh.
“Tunggu...”
tangannya menarik tanganku.
Tubuhku
berbalik. Aku langsung menamparnya.
“Dasar
istri jalang, gak tau diuntung. Jadi selama ini kau melakukan kebusukan dengan
orang berdasi itu. hah. Dasar
pelacur” aku geram aku marah. Marah besar.
“Maaf
aku hilap.. Maa..”
Aku
memotong
“Maaf
busuk. Perempuan goblok”
“Apa?”
intonasinya meninggi, “goblok, tak tau diuntung. Yang goblok dan tak tau
diuntung itu kamu. Apakah selama ini gajimu itu cukup? Dasar pengelap jendela
gedung. Pekerjaanmu itu kotor. Kalau selama ini aku tidak kerja. Mana mungkin
kita bisa membeli rumah, membeli mobil, membeli perlengkaan bayi kita, dan
membeli segalanya. Gajimu itu tak cukup mas, kecil” dia berkaca-kaca, kemudian
tangasinnya meleleh.
“Oh
jadi itu alasan dibalik senyum manismu selama ini. Sungguh aku tak pernah
memakai uangmu. Bukankah uangmu itu selalu kau tabungkan.Bukankah selama ini
yang membayar cicilan rumah tiap bulan itu aku. Dan kenapa kau tak berterus
terang, kenapa?”
“Itu
Karena kau selalu sibuk dengan waktumu, mas. Kau selalu pulang malam”
“Sibuk,
bukankah aku pulang hanya setelah isya. Itu masih sore. Bukankah kau yang
selalu pulang malam. Hah. Bahkan yang
menidurkan bayipun aku”
“Tappi....”
Aku
menyela
“Dan
sungguh aku sakit dengan perbuatan kejimu. Dan sekarang aku sadar, aku sadar
betul. Ini semua keslahanku. Kenapa aku membiarkanmu kerja. Kenapa aku tak
memberikan rizki yang layak untukmu. Dan kenapa aku mau menjadi suamimu yang
dari dulu aku sudah tahu kelakuan busukmu”
0 comments:
Post a Comment