“Ini, sampaikan juga ya ke anggota Kalam*
yang lain” mukanya merah. Suaranya halus perdu. Dia tersenyum tipis.
“Iya..”, kataku sambil menganggukan kepala.
“Maaf itu cuma satu, sampaikan juga ke
yang lainnya ya, jangan lupa”
Aku mengangguk dan tersenyum.
Dia pergi diiringi salam. Angin
berhembus mengenai hijabnya yang panjang, terurai pelan. Dia memakai jilbab dan
hijab merah marun. Langit mendung sore itu. Hujan rintik-rintik jatuh membasahi
jalanan gerlong yang hangus sejak tadi siang. Debu mengepul dan bau aspal
terisap.
Kulihat, dia mempercepat langkahnya kemduian hilang
berbelok ke arah selatan, Komplek Perumahan Angkatan Darat (KPAD). Sedangkan
aku terpaku pada kertas merah jambu yang dia berikan barusan. Di kertas itu
tertulis “Undangan” dan dua burung japati terbang mesra tepat dibawah aksaranya.
Hatiku berdetak cepat. Entah kenapa.
Kutenangkan diriku, namun pikiranku berontak. Mungkinkah ini. Mungkinkah. Aku
masih tidak percaya. Aku mencoba menahan pikiran burukku. Aku tak mau pikiran
burukku ini membuyarkan semua harapan.
Jujur. Aku masih tidak mengerti. Kutatap
surat itu lekat. Aksara undangan itu menusuk hatiku dan membucanhkan rasa,
kemudian rasa itu meluber kemana-mana:
kecemburuan. Hujan makin membesar dan aku membeku terpaku pada tempatku—saat
penyerahan surat undangan tadi. Baju
kemeja dan celana levisku basah kuyup, begitu juga dengan buku catatan kuliah
yang ada di tas. Semuanya tak tersalamatkan dari guyuran hujan, kecuali tubuhku
yang masih tak bisa menerima surat itu.
“Bagaimana Ini” hatiku gamang,
kecemburuan masih membelenggu.
Surat itu kuletakan dalam lemari dan
kukunci rapat-rapat. Surat itu tak basah, karena terbalut oleh plastik. Kakiku
tak bisa diam, hilir mudik kesana kemari. Kadang aku kesal dan
berguling-guling diatas kasur tak jelas. Aku menengok lemari itu lagi. Aku
penasaran. Kenapa aku sedangkal ini. Padahal hanya tulisan undangan saja.
mungkin bukan acara dia. Bukan pernikahan dia. Bukan resepsi dia. Kenapa aku
harus khawatir. Kenapa aku harus risau. Dia itu siapa. Bukan siapa-siapa kan. Hatiku menguatkan. Aku beristigar beberapa kali.
“trek....trek...”
Dua suara kecil itu menandakan lemari
telah terbuka. Surat itu ada diatas tumpukan baju. Kuambil dan kubuka pelan.
Hatiku berdetak kencang. Kuucapkan
basmalah. Dan surat itu melebar seukuran kertas A5. Kubaca teliti. Entah, air
mataku mencair dan hatiku pilu. Mungkin
ini mimpi, kataku dalam hati. Namun, jam dinding masih berdetak dan hujan
masih megnalun pelan, tak berhenti sejak sore tadi. Ini nyata.
Undangan Surat Pernikahan
Atas berkat rahmat Allah yang telah memberi rizki dan nikmat kepada kita semua. Shalawat dan salam mari kita limpahkan kepada Nabi kita tercinta, Muhammad Saw. kami selaku pihak keluarga mengundang kepada saudara/i untuk menghadiri
resepsi pernikahan.
“Ali Rahmat bin Aziz Rahman”
Dengan
“Aisyah Azzahra bin Munawar Abudurahman”
Aku tak sanggup membaca kata-kata
yang ada di dalam undangan itu. Aku tak sanggup meneruskan. Surat itu
kulepaskan. Seketika, Aku ingin merobek surat itu dan aku ingin membakarnya. Aku sangat membeci Ali, calon suami Aisyah. Namun siapakah Ali, tak pernah aku mendengar
namanya. Aku ingin menghajarnya. Aku sungguh marah dan cemburuku kembali
membuncah.
Udara hening. Aku diam. Mataku hujan
deras seperti hujan sore tadi. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, kenapa
aku sangat cemburu. Kenapa aku sangat kesal dengan surat ini. Kenapa dengan
perasaanku ini, yang tak bisa kukendalikan. Ada apakah, kenapa?
Aku bergegas mengambil air wudhu dan
menunaikan beberapa rakaat shalat kiyamu lail. Dalam shalatku itu tak berhenti
bayangan Aisyah mucul. Dikala takbiratul ihram dan kubaca surat Ar-Rahman, wajahnya
terpangpang jelas. Ketika kuruku, suara perdunya mengalun hebat. Aku tak fokus.
Bayangan itu muncul silih berganti sampai aku takhitatul akhir.
“Ya Allah, hambamu ini yang kerdil
dihadapanMu, sungguh aku mencintainya, mencintai Aisyah. Kenapa Kau jodohkan
dia dengan yang lain. Kenapa ya Allah. hatiku sakit, perasaanku teriris, dan
akalku bertaburan tak tertata. Bukankah kau Maha Adil Ya Allah? Bukankah Kau Maha
Pengasih? Bukankah kau tahu hati hamba selama ini?” pipiku sembam.
“Ya Allah, dari lubuk hati yang
paling dalam. Aku tersadar, aku telah melakukan perbuatan dosa kepadaMu. Aku telah
khilaf. Mengapa aku berada di jalanmu, mengkaji islam, dan mengingatkan orang,
hanya karena aku mencintainya, Aisyah. Aku mengubah sikapku karenanya. Aku ikut
Kajian Islam Mahasiswa karenanya. Aku lakukan semua ini karenanya. Maafkan aku
Ya Allah. aku telah menafikan diriMu, zatMu, KuasaMu. Harusnya aku menyandarkan
ini kepadaMu” sajadahku banjir oleh tangisanku sendiri.
“Untuk itu, bimbinglah aku Ya Allah
dalam meluruskan niat ini. Hapuslah bayangan tentang dia Ya Allah. Sungguh, aku
ingin melupakannya. Biaskanlah dia seperti aku biasa dengan yang lainnya, para
sahabatku. Aku mohon ya Allah. Kaulah yang Maha Tahu Atas Segalanya. Kaulah
yang Maha Tahu tentang isi hati ini” aku tertunduk lesu. Air mataku mengalir deras bagai sungai di musim hujan.
Aku beranjak. Sajadah kulipat. Kasur kuamparkan
kembali. Aku duduk diatas kasur dan kubasuh bibirku dengan bacaan Al-Quran. Surat
An-Nisa yang aku baca kala itu. Beberapa lembar kulahap. Bibirku melaju deras. Tak
terasa sudah dua juz. Ketika bayangan wajah Aisyah muncul kukeraskan bacaan. Maka
bayangan itu Alhamdulilah hilang. Walaupun
aku sulit menerima kenyataan ini, tapi aku ikhlas dan aku bersyukur, karena aku
telah tersadar bahwa cinta itu adalah Kau, Ya Allah.
****
Undangan itu telah kuberitahukan
kepada semua anggota Kalam, termasuk para ketua dan jajarannya. Tepat hari
senin pesta pernikahan itu berlangsung. Dan
hari minggu akad pernikahan itu di gelar di Masjid Baiturrahman Cirebon. Kami berangkat
kesana dengan mobil sewaan.
Akad suci telah berkumandang. Aisyah
telah menjadi milik orang lain, Ali Rahmat. Kami berdoa bersama dipimpin seorang
Ustad. Tak lama, Aisyah muncul dan satu kecupan hangat mendarat di keningnya. Kecupan
itu dari suaminya yang telah halal beberapa menit lalu. Semua saksi pernikahan
mengucap takbir bersama. Kulihat pipi aisyah merah merona.
Para saksi telah bubar. Kami—Kalam—mendekat
menyalami Ali. Dan hatiku shock
berat. Ali memukul pundakku dan dia berkata dengan lantang, “Sudah lama tak
berjumpa sahabat kecilku, kemana saja? aku sangat rindu?”
--------------------------------------------------------------------------------
Keterangan:
*Kalam adalah singkatan Kajian Islam
Mahasiswa. Salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa
yang ada di Kampus UPI, yang mengkaji segala seluk beluk Islam.
0 comments:
Post a Comment