Suara kelas gaduh. Orang-orang hanya
terdiam mendengarkan. Dosen bungkam, hanya kami berdua yang berbicara. Berdebat.
Sudah satu setengah jam berlalu. Sejak dosen masuk dan membuka termin diskusi.
Kami saling menghujat, menangkis, dan meruntuhkan argumen yang berasal dari
pemikiran kami.
“Kenapa kau tak mengucapkan Selamat Natal?
Bukankah kami selalu mengucapkan pada hari rayamu, Selamat Idul Fitri, Selamat
Idul Adha? Malah kami selalu memberikan sedekah saat hari rayamu.” Intonasinya meninggi.
Aku tidak terpancing emosi. “Kita
harus dudukan perkaranya, apakah kedua hari raya, idul adha/fitri sama
esensinya dengan Natal? Jelas berbeda. Kami merayakan Idul fitri untuk
mengingat kemenangan, yang artinya kembali ke fitri, suci. Sedangkan Natal
adalah peringatan pengangkatan Nabi Isa atau Yesus menjadi Tuhan. Jika kami
mengucapkan selamat hari Natal, itu berarti mengakui Tuhan yang kamu sembah,
dan pengakuan akan Tuhan kamu itu
melanggar akidah atau kepercayaan kami”
Dia diam
“Sekarang bisakah kamu mengucapkan
dua kalimat sahadat, “lā ilāha illa l-Lāh muḥammadar rasūlu l-Lāh?” lanjutku
“Tidak, aku tidak bisa” dia
menggeleng lemah
“Nah, seperti tidak bisanya kamu mengucapkan
sahadat. Seperti itu kami tidak bisa mengucapkan Selamat Natal. Tapi Islam
sangatlah Toleran dan Toleransi. Kami juga menghargai peryaan umat lain,
termasuk agamakamu, Kristen” suaraku perdu pelan tapi jelas.
Waktu menunjukan 10.20 siang, itu
berarti waktu kuliah telah habis. Dosen tak memberikan kesimpulan apa-apa, dia
menyerahkan kepada kami sepenuhnya. Dia menilai kami sudah mampu menyimulkan
sendiri. Dosen keluar diiringi salam. Hari itu, mata kuliah telah habis,
kecuali gadis Nasrani itu yang masih ada satu mata kuliah lagi. Aku
meninggalkan ruangan. Kutatap sedikit gadis Nasrani yang ada di kursi depan,
dekat dengan meja dosen. Wajahnya merah padam, mungkin dia marah. Namun, aku
hanyalah menyampaikan ajaran agamaku. Kualihkan pandangan. Aku takut syaitan
menggangguku.
******
Perutku berbunyi beberapa kali.
Sedangkan hujan masih segan untuk berhenti. Kutengok jam, sudah jam sepuluh
malam. Beras sudah habis. Persedian mie atau telur yang kubeli dari pasar Gerlong
dua minggu lalu sama, sudah habis. Aku memegang perut dan mulutku bergumam,
“lapar”.
“Jam segini tak ada pilihan lain
selain Nasi Goreng, Kwetiaw, atau Mie goreng. Warteg dengan harga murah pasti
sudah tutup” hatiku bergumam. Kuraba isi dompet, tipis. Perutku masih berontak akibat
belum aku isi sejak siang tadi. Kuteguk air putih beberapa gelas untuk
mengganjal, tapi perut masih berontak dan tak bisa lagi kutahan.
Hujan semakin kecil. Kuambil dompet
dan kupakai jaket. Sayang aku tak punya payung. Aku menembus rintikan hujan
dengan tangan kumasukan dalam-dalam pada saku jaket. Dingin terasa menyergap
kulitku, padahal sudah memakai jaket.
Aku sampai pada gerobak bertuliskan
“Ohim”, salah satu nasi goreng langganan mahasiswa, karena porsinya yang jumbo.
Aku menyukainya, apalgi di saat lapar begini. Kupesan satu dan aku menunggu
sambil melihat siaran Televisi, Indonesia
Lawak Club (ILC). Aku tertawa
beberapa kali dengan lelucuan Cak Lontong. Dia memaparkan survey konyolnya yang
seolah rasional dan membingungkan para pelawak yang lain. Kulihat jam tangan. Sudah
hampir sepuluh menit dan perutku makin melilit. Kutengok sedikit, Pa Ohim sibuk
menggoreng dengan muka agak kecut, muka khasnya.
Seorang pemuda mengantarkan satu
porsi nasi goreng mengepul berasap, panas. Kubuka kerupuk dengan mengucap
Basmalah. Walau perutku melilit kutunggu beberapa saat agar nasi goreng tak
benar-benar panas. Aku hanya teringat dengan sabda nabi, kalau meniup makanan
yang panas itu tidak baik.
“Eh... Iwan, makan nasi goreng?”
Aku terperanjat kaget. Kulihat sumber
suara.
“Iya” aku senyum penuh kaget. Kenapa dia ada disini? Ucapku dalam hati
Kemudian dia duduk tepat didepanku.
“Maaf ya, semua tempat sudah penuh hanya
ini yang kosong”
“mangga...” aku
menyilahakan
Namun entah kenapa ketika dia duduk
tepat didepanku. Pandanganku menjadi kaku. Apalagi wajahnya yang tak biasa,
putih bersih dan rambutnya terurai lebat. Aku mengalihkan pandangan beberapa
kali. Sulit. Ingin sesegera mungkin aku menghabiskan nasi goreng ini. Tapi
apakah aku sanggup dengan porsi jumbo panas ini?
“Perdebatan tadi pagi sangat seru”
dia tersenyum lebar
“Iya”
“Akhirnya aku tahu, kenapa muslim
sangat melarang sekali mengucapkan Natal. Awalnya aku salah paham, kenapa agama
kamu tak toleran? Walaupun beberapa temanku yang muslim suka mengucapkan selamt
Natal. Namun sekarang, aku mengerti.” senyumnya menngembang “Oh iya maaf tadi
emosiku tersulut dan kau hebat, kau sangat taat sekali dengan agamamu. Aku suka.
Aku mengapresiasi itu”
“Oh begitu”
Sebenarnya ingin sekali kubicara
panjang lebar. Tapi bibirku pelu dan aku menahan itu. Apalagi ketika kutatap
wajahnya. Ada sesuatu yang menancap pada perasaanku. Dan ketika kata-kata “aku
suka” meluncur dari bibirnya, hatiku berdesir hebat. Aku makin kaku. Aku salah
tingkah. Ada apa ini?
Nasi gorengku makin dingin dan aku
memakannya terburu-buru. Beberapa kali dia mengingatkan agar tidak makan cepat-cepat.
Namun aku semakin lahap, selain karena lapar, aku sangat ingin sekali pulang
mengakhiri pertemuan dengan Maria, Gadis Nasrani itu, yang tepat duduk di
depanku, malam ini.
“Oho..oho..oho...oho....” aku
tersedak, kututup mulut supaya nasi goreng dalam mulutku tak muncrat keluar.
“Ini minum” dia menyodorkan segelas
susu yang baru saja dia beli
Aku masih menutup mulutku dengan
tangan.
“Ini minum” dia mendesak
Aku ingin sekali keluar kemudian
memesan air mineral di warung seberang jalan. Sulit. nasi goreng berminyak
banyak ini tersangkut dikenggorokan. Dan mataku tertutup menahan sakit.
“Ayo minum” dia makin medesak “nanti
tenggorokanmu sakit” raut muknya khawatir.
Bagaimana ini.
Dengan terpaksa aku meminum segelas susu yang dia berikan. Alhamdulilah sendakanku
hilang.
“Nanti kuganti”
“Tidak usah, itu pemberianku ko, kan
tadi kamu keselek”
“Jangan begitu, nanti kuganti”
“Tidak usah, tidak usah”
“Jangan-jangan, aku ganti ya
sekarang”
“Tidak, tidak, aku sudah tidak ingin
meminum susu lagi”
Dia menggeleng keras dan menahanku
pergi memesan susu.
“Maaf ya”
“Maaf kenapa?”
“Iya pasti karena aku, kau tak mau
lagi....”
Dia memotong
“Bukan-bukan, aku tak ingin saja.
apalagi setelah melihatmu sesenggukan. Aku jadi takut sepertimu, keselek” Tangan
halusnya menunjuk kepadaku dan dia tertawa kecil.
Aku tertunduk malu dan kalaupun
kuganti uangku pasti tidak cukup.
********
Aku terbangun, kulihat sudah jam tiga malam. Aku berbegas ke kamar mandi,
mengambil wudhu. Kulipat kasurku, karena ruanganku sempit, dan kutunaikan
shalat sepertiga malam—tahajud—beberapa rakaat.
Namun ada yang aneh dengan mimpiku
malam ini. Wajah Maria muncul beberapa kali. Apalagi ketika kutunaikan shalat.
Wajah maria semakin menjadi-jadi, terbayang. Kata-kata “aku suka” semakain
terbersit. Kata-kata itu seperti candu, terus berulang. Kupejamkan beberapa
kali supaya fokus—khusu. Malah suara itu makin jelas dan bayangan wajahnya yang
putih, sipit, serta senyumnya bagai bunga tulip mengembang membayangiku.
Aku terdiam sambil menunggu Adzan subuh
setelah bermunajat kepada-Mu. Aku semakin limbung, entahlah. Bayangnya selalu
saja muncul. Kuambil buku Api Tauhid karangan Habiburahman El Shirazy, kubaca
beberapa dan ketumukan kata “Hal yang paling layak dicintai adalah cinta itu
sendiri, dan hal yang paling layak dimusuhi adalah permusuhan itu sendiri.”
Kata-kata membuatku semakin limbung.
Jantungku berdetak kencang. Mungkinkah aku jatuh cinta kepada gadis Nasrani
itu? padahal selama ini aku benci, karena selalu mennghujat agamaku?
Suara adzan menyeru, kulihat jam
sudah menunjukan 04.15. Tak pikir lama aku langsung beranjak menutup pintu,
pergi ke surau yang terletak beberapa ratus meter dari sini, kosanku. saat ku
ayunkan langkah pertama, aku berucap pelan dalam hati, “Ya Allah jagalah hati
ini, jagalah dari perbuatan yang tak Kau ridhoi, bimbinglah aku agar selalu
menjadi hambu-Mu yang bertakwa, cintakanlah aku kedalam cintamu dan bencilah
aku dalam salahku.”
0 comments:
Post a Comment