“Ahhhhhh..... Hujan kang” mukanya kesal.
“Iya, tunggu aja we”
Hujan mengguyur sore ini dan kami
terjebak di kesumpekan pasar Gergerkalong. Atap yang keropos tak kuasa menahan
air hujan: bocor. Dan menyeribat pada pakaian kami. Bau menyengat mengisi udara
yang terbang, kemudian hinggap ke hidung kami. Air meluber berwarna hitam gelap
pada jalan berdebu yang menyekat-nyekat pasar.
Beberpa orang telah sibuk menutup
tokonya. Toko kelontongan itu terlihat lusuh, kucel, dan kurang trurus. Kami
berdua berpindah-pindah dengan membawa dua dus air mineral. Air mineral itu
rencananya kami gunakan untuk acara Kalam
Fair, dan acaranya tepat sekarang, jam ini. Kami termangu melihat hujan
yang mengguyur deras berangin.
Ironi, itulah yang terbersit dalam
pundak. Pasar tradisional ini harus direnovasi, karena kalau tidak, pasar
modern yang tak merakyat itu pasti akan membumi hanguskan pasar tradisional.
Dan nyatanya sekarang sudah menjadi kenyataan. Masyarakat lebih suka berkunjung
ke Alfamret dan Indomaret, daripada berkunjung pada tempat sumpek ini, termasuk
kami.
Sudah hampir sejam kami menunggu dan
langit masih belum sudi menghentikan tangisnya. Kami berdua membisu, saling
menatap, dan berbicara sedikit. Tak ada tema yang ingin kami bicarakan. Kami
hanya memikirkan keberlangsungan acara tanpa air minum. Pasti para peserta serek, karena snack mengganjal
dikerongkongan. Kasian mereka.
Hujan berangsur sedikit demi
sedikit, pelan. Walaupun kami bersyukur karena hujan masih mengguyur, bukankah
hujan itu berkah? Kami tak ingin menolak berkah. Kadang, aku aneh dengan berkah
ini—hujan. Karena ketika hujan banyak bencana terjadi. Baru saja longsor di
Banjarnegara, Jawa Tengah, tebak terjadi karena apa? Hujan. Banjir, ah, sudah tak aneh, hujan lagi yang
disalahkan. Tak salah kalau dikatakan “berkah jadi musibah”. Mudah-mudahan kita
sadar.
Kami memutuskan, kami menerobos
hujan dengan masing-masing membawa satu dus air mineral. Berat. Sebelumnya, aku
membeli minyak goreng, entah, kenapa aku membeli itu. Hanya sebab, aku ingat pada kompor gas yang ada dikosan.
Motor dinyalakan. Helm yang lupa
dibawa, menggantung dan banjir. anehnya, helm dipakai oleh temanku itu. dia
terngengeh sedikit. Namun aku paham, karena motor tak ada tempat untuk helm; di
depan sudah diisi oleh dus air mineral dan ditengah pun sama, dipegang oleh
aku.
Hujan rintik-rintik membasahi
baju kami. Dingin menembus kulit kami. Hanya beberapa menit kami sudah sampai
di depan gerbang selatan UPI. Kartu penyimpanan motor kami ambil dari dua
saptam tinggi besar yang berteduh pada bangunan triplek dan diletakan di tengah
jalan.
Kami beriringan jalan setengah
berlari, tergesa-gesa menuju PKM yang ada di dekat Taman Bareti. Aku merunduk
melihat jalan. Rembut basah kuyup. Namun, hatiku berdesir ketika kutonggakan
kepala, ketika dua mata bertemu beberapa detik. Mereka berdua dalam satu payung
dan berjalan agak cepat, kami juga. Entah siapa namanya, namun kusadari ini
hanya salah rasa, sebab aku mengumbar pandangan. Ini hanya salah, benar-benar
salah. Cepat aku melupakannya, walau beberapa kali terbersit saat berjalan
melewati tangga masjid.
PKM sudah di depan mata. Dengan
tubuh basah kami melewati pintu. Acara sudah bubar dan kursi sudah dirapikan.
Kami langsung menuju kantor—sekre—yang ada dilantai dua. Kunci gembok terbuka
dengan beberapa kode rahasia. Sepatu dibuka, kami masuk, kemudian dus air
meneral kami tumpuk. Salah satu dus pecah, karena tak kuasa menahan beban. Dan
Adzan bersuara lantang terdengar dari Masjid Alfurqon. Kami bersiap, kemudian
pergi.
Note: Semi-fiksi
0 comments:
Post a Comment