Sebenarnya
saya agak tidak pantas menulis ini. Namun entah apa ketika saya melihat rak
buku, kemudian tanpa sadar saya menarik buku yang berjudul risalah khitabah. Dalam
daftar isi buku tersebut, saya tertarik dengan satu sub-bab, yaitu memilih
calon suami. Ketertarikan itu muncul disebabkan berbagai pertanyaan yang ada
dipikiran saya, dan juga keingintahuan. Karena selama ini, yang saya dengar dari
beberapa obrolan, yaitu bagaiman memilih wanita yang baik dan hadisnya pun kita
sudah tahu, yang kurang lebih berbunyi “Nikahilah perempuan itu karena empat
hal, yaitu karena kecantikannya, karena hartanya, karena keturunannya, dan karena
agamanya. Lalu Rasullulah berpesan agar
memilih agamanya”
Rumah
tangga ibarat sebuah bahtera yang berlayar di lautan luas: samudra. Dalam pelayaran itu, bahtera pasti dihadang oleh
berbagai macam rintangan. gelombang ganas, badai, angin besar, kehilangan arah, dan
bertemu dengan bajak laut adalah hal yang pasti dan mungkin terjadi.
Ketika
seseorang memutuskan untuk ikut dalam pelayaran. Hal itu juga berarti, ia
percaya kepada nahkoda bahtera tersebut. Ia percaya bahwa nahkoda itu akan
menghantarkannya pada tujuan. Ia percaya nahkoda itu dapat mengatasi
berbagai macam rintangan, seperti badai dan ombak besar. Dan Ia percaya bahwa
nahkoda itu cukup bekal dan tahu perjalanan yang harus ditempuh.
Andaikan
orang yang naik dalam bahtera salah memilih nahkoda atau nahkodanya tidak
sanggup mengatasi berbagai rintangan. Maka kerusakan bahtera itu akan datang
dan menghantam, yang membuatnya tidak sanggup sampai tujuan.
Memilih
nahkoda adalah hal yang urgen. Tidak
bisa asal-asalan, semaunya. Jika seseorang tak mengetahui standar nahkoda yang
baik guna mengarungi lautan. Kemudian ia memilih hanya sekedar “suka”. Maka
kemungkina besar bahtera itu tak akan lama berlayan di lautan. Bahtera tidak
kuat menahan terjangan ombak dan badai.
Makna
yang dapat kita ambil dari analogi ini yaitu, dalam berkeluarga, seorang
pemimpin keluarga harus mempunyai bekal (ilmu dan agama) yang baik dan sikap
(akhlak) yang mulia, karena tanpa keduanya, godaan, konflik, salah paham,
cemduru, dan apapun itu tidak akan teratasi semuprna. Malah bisa jadi konflik
itu menganga hebat yang berakhir pada sebuah perceraian. Sabda Nabi Sallahu
alahi Wa Sallam bersabda yang senada dengan hal itu, berbunyi:
“Jika ada seseorang yang mengajukan
pinangan kepada (putri) kalian, yang kalian ridhai agama dan akhlaknya maka
kawinkanlah ia (dengan putrimu), jika tidak kalian lakukan maka akan terjadi
fitnah dan berkembang kerusakan di muka bumi”
Dari
hadis tersebut, standar yang ditetapkan Rasullulah dalam memlilih calon suami
yaitu agama dan akhlaknya. Walaupun kita tak dapat menafikan harta, paras, dan
keturunannya. Namun jangan dijadikan parameter utama dalam memilih. Tetapi hal
yang utama adalah akhlak dan agamanya. Bila akhlak dinafikan dan menjadi
parameter utamanya adalah materi, paras, dan keturunan. Hal tersebut dapat menyebabkan fitnah dan kerusakan.
Dalam
proses memilih calon suami, seorang perempuan beserta walinya haruslah
berkomunikasi agar terjadi keridhaan disana. Ketika seorang wali hendak
mencarikan jodoh kepada perempuan tersebut, maka wali harus meminta izin
terlebih dahulu. Keputusan seseorang diterima atau tidak tergantung kepada
perempuannya, walaupun walinya meridhai. Hal ini agar membawa kebaikan kepada
keduanya.
Tentu
dalam proses itu, perempuan dibolehkan untuk mengetahui siapa calon suaminya,
bagaima perangainya, bagaimana agamanya, dan segala hal apapun itu tentang
calon suaminya. hal ini dilakukan agar tidak terjadi kekecewaan pasca
pernikahan. Jika ia—perempuan—ridha, ikatlah mereka dalam sebuah pernikahan.
Sedangkan jika ia tidak ridha maka cukuplah sampai disini.
Bila
seorang wali masih kekeuh dengan
parameter keduniaan, sedangkan calon suami tersebut mempunyai akhlak dan agama yang
buruk. Apalagi sampai beda agama. Hadis Nabi Saw, “Siapa yang mengawinkan putrinya dengan orang fasik maka ia berarti
telah memutuskan tali silaturahmi dengan putrinya”
Disinailah
urgensi “memantaskan diri”. Seseorang yang ingin menikah sedangkan ia masih
memiliki akhlak dan agama yang buruk. Sebaiknya ia merenovasi diri dengan cara
belajar dan bergaul dengan lingkungan yang baik. Karena kita tahu, dalam
mengarungi lautan kehidpan dalam bahtera rumah tangga membutuhkan nahkoda yang mengerti
dan memahami kondisi yang tercermin dalam akhlak dan agamanya.
Mungkin
idealnya, kita—perempuan—memliki suami yang akhlaknya baik, agamanya luar
biasa, parasnya tampan, keturunan ningrat, materinya berlimpah. Namun, kita
tentu memahami hidup bukanlah sebuah sinetron dan bukanlah sebuah drama.
Kadang
dalam memilih calon suami, perempuan dan wali melihat kenampakan fisik.
Apakah dia cacat atau tidak. Tak sedikit pula yang menolak pinangan karena
kenampakan fisik. Padahal memiliki akhlak mulia dan agama yang taat. Maka sabda
Rasullulah,
”....ada seseorang yang bertanya
kepada beliau: “Wahai Rasullulah, bagaiman jika (laki-laki) itu mempunyai cacat
atau kekurangan?” Rasullulah pun menjawab: “jika datang kepada kalian orang
yang baik agama dan akhlaknya maka nikahkanlah ia (dengan putrimu)”. Dan beliau
mengulangnya sampai tiga kali.
Sebetulnya
akhlak adalah bagian dari agama. Akhlak merupakan sifat untuk mensifati dirinya-seseorang-ketika melakukan sesuatu. Ketika dia mensifati dirinya dengan sifat-sifat yang
Allah perintahkan, maka disebut dengan akhlak terpuji. Sedangkan bila mensifati
dirinya dengan sifa-sifat yang dilarang oleh Allah disebut dengan akhlak tercela.
0 comments:
Post a Comment