Alhamdulilah,
kemarin aku kedatangan tamu baru, yaitu sebuah sepatu. Tamu itu aku jemput dari
pasar. Namun saat dipakai ada yang aneh dan janggal dalam kaki. Bukan hati. Jujur,
dengan kehadiran sepatu ini membuatku sangat
rindu dengan sepatu lama yang sudah menganga hebat bagai buaya manghap di siang hari. Jika jalan di
tempat yang becek, tentu air merembes
membasahi kaki. Dan hal itu juga menjadi sebab kenapa sepatu itu selalu dingin dan
bau. Jika dibawa berlari, sepatu itu buka tutup di bagian depannya dan
mengeluarkan suara “plakk...plak...”
seperti buaya yang mengejar kijang di sungai nil.
Sepatu
lama itu sungguh malang, karena selama beberapa bulan tak pernah dicuci. Sepatu
itu putih berplat biru. Kedua warnanya telah pudar dan dekil. Sepatu itu sepatu
olahraga dan bertahan cukup lama, dua semester.
Jika
ditengok, aku pikir, sepatu itu hampir sama dengan siklus hidup manusia. Mungkin
kau heran, aku menyamakan manusia dengan sepatu. Padahal sepatu adalah benda
yang dipakai di bagian bawah anggota tubuh: kaki.
Mari
kita renungkan. Sepatu. Benda itu awalnya baru, dibuat dengan teliti dan
hati-hati. Bagian-bagiannya dilem rapt-rapat dan dijait—disol—dengan kuat. Kemudian
sepatu itu dipajang dan dijual. Maka orang yang cocok dan senang baik model
atau harganya kemudian membelinya.
Jika
orang yang membeli sepatu itu rapih, suka bersih-bersih, apik, dan peduli dengan kesehatan. Maka sepatu itu akan dirawat dan
perlakukan dengan baik. Daya tahannya akan lama. Sedangkan orang yang
memperlakukan sepatu dengan buruk, jorok, dan kurang peduli dengan kesehatan. Maka
kau bisa menebaknya sendiri. Sepatu itu mungkin seperti sepatuku, walaupun kau
jangan sangka, aku bukan orang jorok, hanya kurang rapi. Alasan. Daya tahannya tidak akan lama, sebetar saja bisa rusak. Apalagi
dipakainya serampangan, pasti beberapa
bulan saja bisa hancur.
Daya
tahan sepatu dan model pun menentukan harga sepatu. Sepatu yang mempunyai
kualitas bagus maka harganya pun tinggi. Sedangkan sepatu dengan model biasa
dan kulitas biasa harganya pun biasa: murah. Walaupun kita tahu di jaman
sekarang tidak ada yang murah apalagi dengan naiknya harga BBM. Cuma dua ribu,
kata Pak Jokowi.
Sepatu
itu akan robek. Sepatu itu akan jebol. Sepatu itu akan pudar. Sepatu itu akan
lepas solannya. Sepatu itu akan terbelah menjadi dua jika lemnya sudah tak
merekat lagi. Akhir hayat sepatu adalah dibuang
pada tempat sampah. Begitu besar pengabdian sepatu.
Mungkin
kau berpikir lagi, dimana kesamaan sepatu dengan manusia? Baiklah, kita sama-sama
menganalisis.
Manusia
lahir ke dunia ini. Jika manusia itu dirawat, diperlakukan, dan diberi pemahan
yang baik seperti halnya sepatu pada orang yang apik, maka akan dapat kita tebak, masa pertumbuhan dan perkembangan
manusia itu akan berjalan dengan baik, begitu juga sebaliknya. Sepatu akan menua.
Begitu juga kita. Dengan memanfaatkan segala potensi yang Allah berikan kepada
kita selama umur hidup kita. Tak terasa, Tua dan kematian datang menjemput. Maka,
orang yang tak memanfaatkan dan mengoptimalkan waktunya dengan baik, tau-tau dia tua saja. Orang tersebut
bisa kita masukan pada golongan manusia yang merugi.
Perbedaan
yang menonjol antara kita—manusia—dengan sepatu yaitu sepatu tidaklah dihisab—dipertanggung
jawabkan—karena benda mati. Sedangkan manusia dipertanggung jawabkan atas
segala perbuatan yang telah dia lakukan selama hidup, karena kita tahu, kita
sebagai kholifah di muka bumi. Sepatu tidaklah diberikan pilihan, dia hanya dipilih.
Sedangkan manusia diberikan pilihan dan iya bebas memilih.
Maka
jika seseorang hidup dengan begitu-begitu saja, datar, tak mempunyai gairah,
selalu mengeluh, malas, tidak peduli dengan orang lain. Apa bedanya dengan
sepatu? Malah, lebih mulia sepatu
mungkin, karena dalam hidupnya sepatu tak pernah mengeluh dan tak pernah
melas.
0 comments:
Post a Comment