Tarian
itu bergerak di depan mukaku, namun kutatap kosong. Kemudian aku tak tahan
dengan suasana ruangan Amphiteter. Aku keluar. Aku menuruni satu persatu anak
tangga. Kulihat mading, hanya
beberapa bongkah kertas yang telah kusut, sisi-sisinya telah lepas. Kertas itu leaflet. Ada yang berukuran besar dan
kecil. Mereka saling memperebutkan lahan pada papan pengumuman. Saling mendesak
hingga tak ada celah. Bahkan ada juga
yang saling menutupi. Semuanya, aku tidak tertarik.
Suara
Adzan dhuhur mengalun mendayu-dayu. Aku berjalan pada sebuah masjid di
Gegerkalong Tengah, Darut Tauhid. Seperti biasa; melepaskan sepatu, mengambil
air wudhu, menyimpan tas di samping dekat tembok, dan melakukan shalat. Aku menjadi
ma’mum masbuk kala itu.
Setelah
sholat. Aku merunduk. Kupanjantkan doa-doa kepada Sang Maha Kasih, Allah Swt. Badanku
lelah, pergelanganku pegal, dan aku mendadak pusing; ingin tidur. Kulihat jamaah
yang lain. Ada yang terkapar.
Tiba-tiba
gelap, tak ada cahaya. Kurasakan hanya satu: sebuah penyesalan. Namun, aku
bingung, penyesalan apa itu. Suasana hatiku mudah berubah. Kadang aku tak bisa
merasakan apa-apa. Aku terkaku. Namun satu rasa yang mengena dalam kalbuku yaitu keterpurukan. Aku merasa terpuruk
meratapi diriku sendiri.
Kegagalan
akan kegagalan terbayang. Aku hanya mengepalkan tangan diatas dada. Semilir angin
tertahan oleh sekat plastik yang berukuran 3 m x 50 cm, memanjang. Harusnya aku
hangat tapi suhu berkata lain, aku merasakan kedinginan luar biasa.
Kini,
aku mengeluarkan keringat. Aku lelah. Dan aku tidak tahu kelelahan itu disebabkan
oleh apa. Disela-sela kelelahan itu, bayangan kedua wajah teduh muncul
mengagetkan: kedua orangtuaku. Kemudian hilang.
Tangan
hangat menyentuh kakiku. Tangan itu menghangatkan seluruh tubuhku. Suara parau
menggeliat, “Bangun....Bangun..... Sudah sore”, aku terperanjak kaget.
Mataku
sayu. Pening masih hinggap dikepala. Kuliahat waktu menunujukan pukul 02.00
siang. Aku membasuh mukaku dengan air di tempat wudhu. Kemudian aku melihat
diriku sendiri, nampak terbalik, kiri jadi kanan dan kanan jadi kiri: cermin.
Badanku
masih tak stabil ketika aku memakai kaos kaki. Beberapa kali kaki naik turun
menahan tubuh yang goncang. Begitupun ketika memakai sepatu. Perutku memanggil,
aku lapar. Mentari makin terik. Kuputuskan
ke warteg yang berjarak beberapa ratus meter dari masjid ini. Warteg itu
wateg yang paling murah, menurutku. Aku
berjalan limbung dan tanpa sadar aku menabrak perempuan bersal biru dan
berhijab biru. Hantaman itu membuat kami terjatuh. Tanpa sadar, mata kami bertemu
pada satu titik. Hatiku berdesir.
“Maaf...maaf”
sambil kuambil bukunya yang jatuh.
“Iya
nggak papa, saya juga minta maaf, gak ngeliat” dia merundukan pandanga
“Iya
saya juga, maaf”
Kami
berpisah. Kulanjutkan tujuan. Namun kenapa, aku ingin sekali menengok
kebelakang, melihat perempuan yang kutabrak tadi. Aku menahan dan kupercepat
langkah. Perasaan, aku kenal dengan perempuan tadi, namun siapa? Dan mungkinkah
aku bertemu lagi dengannya kemudian menanyakan namanya. Aku tidak berani. Konyol
benar, pikirku. Untuk apa aku menanyakan namanya. Allah lindungilah aku.
Note:
Adegan Tabrakan hanya fiksi belaka. Saya selama kuliah belum pernah tabrakan
dengan perempuan apalagi santri DT.
0 comments:
Post a Comment