Saturday, December 27, 2014

Jangan buka Jilbabmu di Facebook, Nisa.


Hampir setiap hari hari saya membuka facebook dan saya juga menemukan keganjilan disana. Keganjilan saya muncul ketika melihat beranda. Banyak photo yang entah siapa, saya tidak kenal, berserakan. Karena hampir moyoritas yang berteman dengan saya orang-orang muda maka kawan bisa tebak. Fotonya itu aneh—alay.

Kalo sekedar poto alay tapi nggak mengundang hasrat mungkin bisa ditolelir. Tapi yang membuat saya ironi adalah foto-foto yang setengah-setengah, maksudnya di kerudung tapi seksi atau buka kerudung padahal keseharian pakai kerudung.

Kita tahu bersama facebook atau sosial media lain adalah tempat umum dan setiap orang bebas melihat. Klik nama seseorang di pencarian muncul deh profil. Orang yang iseng biasanya liat foto-fotonya. Lelaki biasanya.

Kalau saya analogikan, facebook, twitter, atau medsos lain seperti pasar. Sedangkan kita adalah tokonya yang menjajakan tulisan-tulisan pendek. Baik pasar maupun kita di media sosial, setiap orang boleh berkunjung ke akun kita, dan setiap orang bebas mengomentari apa yang kita posting. Kalau postingannya baik mungkin orang yang baca juga akan sadar dan begitu juga sebaliknya. Perbedaannya kalau di medsos hanya beberapa orang saja yang hidup (baca: aktif) dalam waktu bersamaan sedangkan pasar banyak orang dalam satu tempat.  

Memang hak setiap orang memposting apa saja di facebook. Namun alangkah baiknya dan mungkin dianjurkan agar tidak buka aurat atau membuat orang yang melihat, shawatnya bergolak. Eksis sih boleh tapi harus ada batasan. Hal yang sering saya lihat yaitu banyak yang buka kerudung. padahal kan menutup aurat adalah wajib, Al-Quran juga sudah menjelaskan,

"Wahai Nabi, suruhlah isteri-isterimu dan anak-anak perempuanmu serta perempuan-perempuan yang beriman, supaya melabuhkan pakaiannya bagi menutup seluruh tubuhnya (semasa mereka keluar); cara yang demikian lebih sesuai untuk mereka dikenal (sebagai perempuan yang baik-baik) maka dengan itu mereka tidak diganggu. Dan (ingatlah) Allah adalah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani." (Surah Al-Ahzab, ayat 59)

Jadi, dimanapun nisa—perempuan—berada jangan sampai membuka kerudung, kecuali di tempat yang yang orang di sekitar nisa itu mahram atau lagi sendiri di kamar. Jangan karena ingin dipuji atau hanya sekedar komentar dari temen entah itu cowok atau cewek. Ingat nisa, penilaian manusia itu sementara dan mungkin saja mereka berbohong sedangkan penilaian Allah mutlak kebenaranya dan tidak mungkin bohong. Bukankah hidup kita untuk Allah dan kita akan kembali kepada Allah? Sadar nisa, sadar.

Waallahualam bii shawab

Cinta Semut Padamu


Coba menarik diri dari hal yang tak mungkin kulakuan. Namun sadar ketika kita menatap, tak ada harapan disana. Kita hanya berbicara dalam bahasa yang tak dimengerti, tentang mimpi-mimpi kita. elok niang, berjuta harapan entah sampai kapan kuharapkan.

Lelah, cukup berdiri disamping jendela bersama hujan yang mengguyur. Mungkin, waktu menjawab semua hirau yang pernah aku lakukan. Iya itu, yang kau ucapkan dalam bahasa gerakmu di hari kemarin, “kita hanya lah biasa, aku manusia sedangkan kau semut”.

Rantai tergetak dingin bersama hujan. Pekat matamu yang selalu berbinar saat membuka wadah gula, membuatku gugup. Senyummu yang tipis membuatku takjub. Gesture tubuhmu yang dinamis, sempurna. Dan tubuhmu yang terbalut kain longgar sungguh mempesona. Tapi apakah mungkin, bukankah aku hanya semut? Bukankah aku hanya makhluk kecil, jelek, hitam dan tak mengerti apa-apa tentang manusia? Aku hanya kagum dengan perasaan yang tak menentu.

Namun aku tak berhenti berharap, mewujudkan semua anganku. Setiap pagi aku selalu bersembunyi di sela-sela buku di kamarmu. Menatap wajahmu yang masih terlelap. Andai aku manusia mungkin aku tak akan lama menunggu untuk melamarmu dan menikahimu. Aku tak seperti orang lain yang suka dengan pacaran. Ah apalah itu, menurutku orang-orang yang kurang komitmen yang berani melakukan itu. Walaupun kau tahu di bangsa kami juga banyak yang berpacaran dan mengandung di luar nikah, bagai hewan saja. bukankah aku hewan? Setidaknya aku hewan yang beradab, tau diri.

Ibuku pernah mengingatkan, apalah kerjaku mengejar cinta manusia? Sampai kiamat pun tak akan pernah tersampaikan? Kita hanya bagian semesta yang terabaikan oleh manusia? Dan satu ketika ibu mengatkaan “cobalah anakku bercermin?”

Kulihat mukaku seksama dan itu membuat harapanku pudar. Bagaimana mungkin aku seorang hewan dapat mendapatkan seorang manusia yang berjilbab panjang tergerai indah? Lihatlah mukaku yang memiliki mata besar sedangkan dia memiliki mata sayu? Lihatlah badanku yang memiliki kaki enam sedangkan dia memiliki dua kaki yang indah dan dua tangan yang halus? Lihatlah senyumku yang mempunyai gigi yang buruk sedangkan dia mempunyai senyum yang indah bagai bunga mawar yang merekah?


Aku tertunduk lesu. Tangan kecilku menyentuh kaca sambil berharap “Ya Allah, Tuhan Semesta Alam yang Maha Tahu, aku masih berharap walaupun itu tak mungkin”. Semoga suatu hari dia tahu dan mengerti bahwa ada semut yang mempunyai rasa kepadanya walaupun aku sudah pupus, karena umur  kita tak mungkin sama.

Thursday, December 25, 2014

Hentikan Memikirkan "Cinta"


Hidup memang tak terlepas dari kata ini “Cinta”. Dan kebanyakan dari kita, termasuk saya cinta identik dengan lawan jenis—dalam arti memikirkan. Manakala segala bayangan itu membuat kita galau bukan kepalang. Senyum-senum sendiri, teriak-teriak sendiri, menangis sendiri, dan melihat diri dalam cermin dengan muka kusut sendiri.

Sadar atau tidak saya atau anda pernah di gerumuti perasaan tak menentu, hanya memikirkan dia, yang entah siapa, yang selalu kita angankan dalam mimpi-mimpi. Disisi lain tanpa kita sadari kesibukan bertambah banyak, seperti tugas yang tak kunjung dikerjakan, atau sekedar pekerjaan rumah yang tak kunjung ditunaikan. Semuanya terabaikan.

Memikirkan cinta (baca:lawan jenis) membutuhkan enegi. Gawatnya lagi ketika saya atau anda terbawa suasana dan masuk dalam bayangan semu itu. Tak tahunya energi kita terkuras bahkan habis. Sedangkan pekerjaan lain menunggu untuk diselesaikan. Dengan dalil lelah akhirnya kita bermalas-malas ria sembari terus memikirkan si dia.

Waktu semakin luntur tergerus, kadang kita mengambil gitar dan menyanyikan beberapa tembang tentang cinta. Keefektifan waktu kita untuk beraktifitas dipertanyakan. Apalagi setelah kita bermain gitar, kemudian melamun sendiri menatap tembok atau jendela, menatap kosong.

Sadar!! Sadar!!!

Sebagai manusia kita juga mestinya berfikir logis, mau apa dan seperti kita kedepan. Energi yang kita punya sebaiknya salurkan pada hal-hal positif yang mendukung cita-cita kita. saya juga menyadari saya tidaklah seperti itu—yang selalu idealis tentang cita-cita. namun, saya hanya sayang dirisaya dan anda sebagai teman saya: mengingatkan. Terlalu sayang energi yang kita punya dibuang dengan melakukan khayalan-khayalan yang  tidak bermutu. Apalagi ditambah membanting beberapa barang disekitar ketika kesal karena bunga tak kunjung mengembang. Sangat merugikan.

Hanya sekedar saran. Untuk meredam gejolak dalam diri. Sebaiknya kita menyibukan diri dengan hal lain seperti yang saya bilang tadi, hal positif. Seperti membaca buku, olahraga, atau berdiskusi—bukan gosip—dengan teman. Jangan biarkan bayangan itu muncul dan kita menjadi pemenung. Saya dan anda yang mengalami nasib sama, harus menahan dan mencoba sekuat mungkin untuk tetap tegar dengan segala aktivitas yang prodktif.

Hal lain yang perlu diingat. Membayangkan sesuatu yang belum halal bisa termasuk ke dalam ranah dosa. Apalagi memikirkan hal-hal jorok dari pujaan. Mungkin teman mengerti maksud saya. udah dosa, waktu terbuang, jadi males, dan susah untuk bergerak. Ah, bagiamana bisa survive. Justru di sisi lain, gemuruh cinta itu harusnya menjadi pemacu kita beribadah kepada-Nya dan kita benar-benar serius memantaskan diri. Terakhir, masalah cinta kita kembalikan saja kepada Sang Maha Cinta, Allah Swt. Wallahualam bii shawab.

Tuesday, December 23, 2014

Maria


Suara kelas gaduh. Orang-orang hanya terdiam mendengarkan. Dosen bungkam, hanya kami berdua yang berbicara. Berdebat. Sudah satu setengah jam berlalu. Sejak dosen masuk dan membuka termin diskusi. Kami saling menghujat, menangkis, dan meruntuhkan argumen yang berasal dari pemikiran kami.

“Kenapa kau tak mengucapkan Selamat Natal? Bukankah kami selalu mengucapkan pada hari rayamu, Selamat Idul Fitri, Selamat Idul Adha? Malah kami selalu memberikan sedekah saat hari rayamu.” Intonasinya meninggi.

Aku tidak terpancing emosi. “Kita harus dudukan perkaranya, apakah kedua hari raya, idul adha/fitri sama esensinya dengan Natal? Jelas berbeda. Kami merayakan Idul fitri untuk mengingat kemenangan, yang artinya kembali ke fitri, suci. Sedangkan Natal adalah peringatan pengangkatan Nabi Isa atau Yesus menjadi Tuhan. Jika kami mengucapkan selamat hari Natal, itu berarti mengakui Tuhan yang kamu sembah, dan pengakuan akan Tuhan kamu itu  melanggar akidah atau kepercayaan kami”

Dia diam

“Sekarang bisakah kamu mengucapkan dua kalimat sahadat, “lā ilāha illa l-Lāh muḥammadar rasūlu l-Lāh?” lanjutku

“Tidak, aku tidak bisa” dia menggeleng lemah

“Nah, seperti tidak bisanya kamu mengucapkan sahadat. Seperti itu kami tidak bisa mengucapkan Selamat Natal. Tapi Islam sangatlah Toleran dan Toleransi. Kami juga menghargai peryaan umat lain, termasuk agamakamu, Kristen” suaraku perdu pelan tapi jelas.

Waktu menunjukan 10.20 siang, itu berarti waktu kuliah telah habis. Dosen tak memberikan kesimpulan apa-apa, dia menyerahkan kepada kami sepenuhnya. Dia menilai kami sudah mampu menyimulkan sendiri. Dosen keluar diiringi salam. Hari itu, mata kuliah telah habis, kecuali gadis Nasrani itu yang masih ada satu mata kuliah lagi. Aku meninggalkan ruangan. Kutatap sedikit gadis Nasrani yang ada di kursi depan, dekat dengan meja dosen. Wajahnya merah padam, mungkin dia marah. Namun, aku hanyalah menyampaikan ajaran agamaku. Kualihkan pandangan. Aku takut syaitan menggangguku.

******

Perutku berbunyi beberapa kali. Sedangkan hujan masih segan untuk berhenti. Kutengok jam, sudah jam sepuluh malam. Beras sudah habis. Persedian mie atau telur yang kubeli dari pasar Gerlong dua minggu lalu sama, sudah habis. Aku memegang perut dan mulutku bergumam, “lapar”.

“Jam segini tak ada pilihan lain selain Nasi Goreng, Kwetiaw, atau Mie goreng. Warteg dengan harga murah pasti sudah tutup” hatiku bergumam. Kuraba isi dompet, tipis. Perutku masih berontak akibat belum aku isi sejak siang tadi. Kuteguk air putih beberapa gelas untuk mengganjal, tapi perut masih berontak dan tak bisa lagi kutahan.

Hujan semakin kecil. Kuambil dompet dan kupakai jaket. Sayang aku tak punya payung. Aku menembus rintikan hujan dengan tangan kumasukan dalam-dalam pada saku jaket. Dingin terasa menyergap kulitku, padahal sudah memakai jaket.

Aku sampai pada gerobak bertuliskan “Ohim”, salah satu nasi goreng langganan mahasiswa, karena porsinya yang jumbo. Aku menyukainya, apalgi di saat lapar begini. Kupesan satu dan aku menunggu sambil melihat siaran Televisi, Indonesia Lawak Club (ILC). Aku tertawa beberapa kali dengan lelucuan Cak Lontong. Dia memaparkan survey konyolnya yang seolah rasional dan membingungkan para pelawak yang lain. Kulihat jam tangan. Sudah hampir sepuluh menit dan perutku makin melilit. Kutengok sedikit, Pa Ohim sibuk menggoreng dengan muka agak kecut, muka khasnya.

Seorang pemuda mengantarkan satu porsi nasi goreng mengepul berasap, panas. Kubuka kerupuk dengan mengucap Basmalah. Walau perutku melilit kutunggu beberapa saat agar nasi goreng tak benar-benar panas. Aku hanya teringat dengan sabda nabi, kalau meniup makanan yang panas itu tidak baik.

“Eh... Iwan, makan nasi goreng?”
Aku terperanjat kaget. Kulihat sumber suara.
“Iya” aku senyum penuh kaget. Kenapa dia ada disini? Ucapku dalam hati
Kemudian dia duduk tepat didepanku.
“Maaf ya, semua tempat sudah penuh hanya ini yang kosong”
“mangga...” aku menyilahakan

Namun entah kenapa ketika dia duduk tepat didepanku. Pandanganku menjadi kaku. Apalagi wajahnya yang tak biasa, putih bersih dan rambutnya terurai lebat. Aku mengalihkan pandangan beberapa kali. Sulit. Ingin sesegera mungkin aku menghabiskan nasi goreng ini. Tapi apakah aku sanggup dengan porsi jumbo panas ini?

“Perdebatan tadi pagi sangat seru” dia tersenyum lebar
“Iya”
“Akhirnya aku tahu, kenapa muslim sangat melarang sekali mengucapkan Natal. Awalnya aku salah paham, kenapa agama kamu tak toleran? Walaupun beberapa temanku yang muslim suka mengucapkan selamt Natal. Namun sekarang, aku mengerti.” senyumnya menngembang “Oh iya maaf tadi emosiku tersulut dan kau hebat, kau sangat taat sekali dengan agamamu. Aku suka. Aku mengapresiasi itu”
“Oh begitu”

Sebenarnya ingin sekali kubicara panjang lebar. Tapi bibirku pelu dan aku menahan itu. Apalagi ketika kutatap wajahnya. Ada sesuatu yang menancap pada perasaanku. Dan ketika kata-kata “aku suka” meluncur dari bibirnya, hatiku berdesir hebat. Aku makin kaku. Aku salah tingkah. Ada apa ini?

Nasi gorengku makin dingin dan aku memakannya terburu-buru. Beberapa kali dia mengingatkan agar tidak makan cepat-cepat. Namun aku semakin lahap, selain karena lapar, aku sangat ingin sekali pulang mengakhiri pertemuan dengan Maria, Gadis Nasrani itu, yang tepat duduk di depanku, malam ini.

“Oho..oho..oho...oho....” aku tersedak, kututup mulut supaya nasi goreng dalam mulutku tak muncrat keluar.
“Ini minum” dia menyodorkan segelas susu yang baru saja dia beli
Aku masih menutup mulutku dengan tangan.
“Ini minum” dia mendesak

Aku ingin sekali keluar kemudian memesan air mineral di warung seberang jalan. Sulit. nasi goreng berminyak banyak ini tersangkut dikenggorokan. Dan mataku tertutup menahan sakit.

“Ayo minum” dia makin medesak “nanti tenggorokanmu sakit” raut muknya khawatir.
Bagaimana ini. Dengan terpaksa aku meminum segelas susu yang dia berikan. Alhamdulilah sendakanku hilang.
“Nanti kuganti”
“Tidak usah, itu pemberianku ko, kan tadi kamu keselek”
“Jangan begitu, nanti kuganti”
“Tidak usah, tidak usah”
“Jangan-jangan, aku ganti ya sekarang”
“Tidak, tidak, aku sudah tidak ingin meminum susu lagi”
Dia menggeleng keras dan menahanku pergi memesan susu.
“Maaf ya”
“Maaf kenapa?”
“Iya pasti karena aku, kau tak mau lagi....”
Dia memotong
“Bukan-bukan, aku tak ingin saja. apalagi setelah melihatmu sesenggukan. Aku jadi takut sepertimu, keselek” Tangan halusnya menunjuk kepadaku dan dia tertawa kecil.
Aku tertunduk malu dan kalaupun kuganti uangku pasti tidak cukup.

********

Aku terbangun, kulihat sudah jam  tiga malam. Aku berbegas ke kamar mandi, mengambil wudhu. Kulipat kasurku, karena ruanganku sempit, dan kutunaikan shalat sepertiga malam—tahajud—beberapa rakaat.

Namun ada yang aneh dengan mimpiku malam ini. Wajah Maria muncul beberapa kali. Apalagi ketika kutunaikan shalat. Wajah maria semakin menjadi-jadi, terbayang. Kata-kata “aku suka” semakain terbersit. Kata-kata itu seperti candu, terus berulang. Kupejamkan beberapa kali supaya fokus—khusu. Malah suara itu makin jelas dan bayangan wajahnya yang putih, sipit, serta senyumnya bagai bunga tulip mengembang membayangiku.

Aku terdiam sambil menunggu Adzan subuh setelah bermunajat kepada-Mu. Aku semakin limbung, entahlah. Bayangnya selalu saja muncul. Kuambil buku Api Tauhid karangan Habiburahman El Shirazy, kubaca beberapa dan ketumukan kata “Hal yang paling layak dicintai adalah cinta itu sendiri, dan hal yang paling layak dimusuhi adalah permusuhan itu sendiri.”

Kata-kata membuatku semakin limbung. Jantungku berdetak kencang. Mungkinkah aku jatuh cinta kepada gadis Nasrani itu? padahal selama ini aku benci, karena selalu mennghujat agamaku?


Suara adzan menyeru, kulihat jam sudah menunjukan 04.15. Tak pikir lama aku langsung beranjak menutup pintu, pergi ke surau yang terletak beberapa ratus meter dari sini, kosanku. saat ku ayunkan langkah pertama, aku berucap pelan dalam hati, “Ya Allah jagalah hati ini, jagalah dari perbuatan yang tak Kau ridhoi, bimbinglah aku agar selalu menjadi hambu-Mu yang bertakwa, cintakanlah aku kedalam cintamu dan bencilah aku dalam salahku.”

Monday, December 22, 2014

Aku Ingin Ibu Menangis

Dokumentasi Pribadi

“Aduhhh.....” Ibuku meronta sakit
“Sabar... nyerinya sebentar ini, kalo dibiarin bisa bengkak nanti tambah sakit” bapaku mengurut kaki ibu dengan telaten. Tangannya licin berminyak karena dibalut minyak kelapa.

Ibu meringis
Bapaku menguatkan

Aku hanya terdiam, tak tahu apa-apa. Aku hanya takut ibuku terjadi apa-apa. Bagaimana kalau kakinya patah? Bagaimana kalau dia tak bisa lagi berjalan? Bagaimana kalau dia tidak bisa menyaiapkan sarapan pagiku lagi? Bagaimana.....? Bagaimana....? Pertanyaan itu mencerca diriku dan membuatku khawatir, sangat khawatir.

Malam itu hanya kami bertiga dalam rumah sumpek setengah jadi, sebagian rumah masih berdindingkan bilik, sebagian lagi sudah ditembok kokoh. Dan hanya ruangan tengah yang sudah dikramik, ruang kamar hanya diplester oleh semen.

Laron mengerubung lampu neon yang panjang. Lampu itu digantungkan di kusen dekat pintu. Dan hanya lampu itu saja yang menerangi kami, sedangkan suasana kamar gelap. Ibuku telah pulas tertidur. Sedangkan bapaku masih sibuk menghaluskan kayu—kusen. Kutengok jam dinding, sudah jam sebelas malam. Mataku berat dan aku menselonjorkan tubuh. Kubaca doa yang diajarkan di madrasah beberapa minggu lalu. Aku tertidur lelap disebelah ibu.

*****

Sudah beberapa hari ibu diam di rumah. Kakinya masih belum pulih. Namun alhamdulilah sudah bisa jalan, dan pagi tadi dia menyiapkan sarapan untukku sebelum berangkat ke sekolah. Bapaku sudah sejak subuh berangkat ke sawah, menggarap beberapa petak sawah pemberian dari kakek. Kadang, ketika musim kering, kami tak bisa menutupi pinjaman dari tengkulak. Hutang kami makin menumpuk. Dan untuk membantu ekonomi keluarga. Ibu berjualan baju keliling dari kampung ke kampung, desa ke desa, dan dari kecamatan ke kecamatan.

Sore itu, hujan lebat mengguyur. Ibu terpaksa ngojek, tak seperti biasanya. Dia berprinsip uang sekecil apapun adalah uang, sayang bila dipakai untuk sekedar ngojek. Padahal jarak yang ditempuhnya tidaklah dekat, kurang lebih 7 km, ditambah jalan keliling ke desa-desa. Kakinya semakin besar saja. Dan kini kakinya diperban dan semakin tambah besar karena bengkak.

Kecelakaan itu terjadi di tanjakan paling curam di desa kami. Tanjakan Batu namanya. Berbatu sebesar kepala kerbau dan tersebar tidak merata. Aku tidak tahu persis kecelakaannya bagaimana dan seperti apa? Namun aku hanya mendengar, ketika jatuh, motor menimpa kaki ibuku. Beruntung tak sampai patah, hanya pepeur1 saja.

Ibuku mempunyai jadwal berbeda setiap harinya. Hari senin dikhususkan ke tempat yang jauh. Sedangkan hari jumat hanya disekitar kampung saja. Semakin mendekat hari jumat maka tempat yang disantroni ibu semakin dekat. Apalagi hari jumat jadwal rutin mingonan2. Dan mingonan adalah hari pengharapanku paling besar, karena ada arisan. Apalagi sudah hampir beberapa bulan nama ibuku tidak keluar. Mudah-mudahan minggu ini keluar namanya. Semoga. Dan kalau keluar, ibu akan membelikanku tas sekolah. Karena selama ini aku hanya membawa kantong plastik berwarna merah muda yang selalu kugantungkan pada gagang payung ketika hujan.

Pernah air mata ibuku meleleh, padahal hanya kata-kata saja dan aku biasa.
“Bu...bu....kata mang udin pas tadi lewat, katong plastik mah buat wadah terasi. Bukan buat wadah buku ”

*****

Ibuku tak mengenal kata libur, hanya sakit saja dia libur.  Setiap hari aku hanya bersama nenek dan kakek. Mereka berdua baik. Kadang kelakuan bengalku ini membuat nenek marah-marah. Namun ketika nenek marah, aku makin girang. Apalagi pas musim hujan, lempar payung dan berlari-lari mengelilingi buruan3.

Ibu berangkat pagi sekali, sebelum aku berangkat ke sekolah, bapakku juga begitu. Selain petani bapakau kerja bangunan lho. Makanya rumah ini dikerjakan sepenuhnya sama bapaku. Hebat kan. Ibuku berjualan baju dengan uwa4. Umur Uwa lebih tua dari ibu. Dan biasanya aku sering minta uang jajan ke Uwa. Dia sangat baik, kadang suka marah juga seperti nenek.

Pas adzan magrib biasanya ibuku baru pulang. Sedangkan aku masih mengaji di surau Cisonggom. Jaraknya lumayan jauh untuk seumuranku. Tapi teman-temanku banyak dan sangat mengasyikan. Mereka rata-rata perempuan, yang sama seperti populasi penduduk kampungku yang didominasi oleh perempuan.

Dari hari kehari, usaha jualan baju ibu cukup berkembang. Pemilik toko sangat percaya sekali kepada ibu. Hutang ibuku kepada toko jutaan, sempat ibu mengatakan itu ketika aku minta uang jajan. Pelanggan ibu juga makin banyak. Diantaranya ada yang menjadi pelanggan tetap dan ada juga menjadi pelanggan sesekali. Tapi ada juga yang nggak bayar. Karena keterbatasan modal, ibu menggunakan sistem pesan dan ke beberapa pelanggan yang dipercaya dikreditkan.

Ketika bulan suci tiba, Idul Firi, ibu mengurungkan diri untuk berlibur, dengan alasan bulan suci, bulan barokah. Sempat beberapa kali sama bapa didesak supaya libur dulu. Namun ibu menolak. Mumpung sehat, katanya. Ditambah kalau idul fitri makin banyak orang yang membeli baju dulag5, karena menurut tradisi, tak memakai baju baru di hari raya kurang afdol.

Tangan ibu luar biasa. Dari subuh menyiapkan sahur, kemudian pergi berdagang, dan sebelum magrib dia sudah pulang, menyiapkan buka. Yang membuat aku senang, ibu selalu membawa gorengan ketika pulang, besar-besar. Gorengan itu biasanya campur, ada bala-bala, teci, dan kroket. Kalau ada uang lebih, ibu biasanya membeli kolak atau es.

***************

Sudah hampir empat belas tahun, sampai saat ini. Ibuku tak bosan mengelilingi kampung orang, hanya sebongkah senyum yang menghiasi mukanya. Kerja kerasnya semata untuk meningkatkan ekonomi keluarga agar terhindar dari kemiskinan dan keridhoan dari Sang Maha Kuasa. Apalagi tetanggaku sering menggulirkan ejekan-ejekan yang kurang sedap. Namun ibuku tetap sabar dan tabah. Biarlah mereka mengejek yang penting kita tak mengejek orang, katanya suatu hari.

Selama itu pula dua kakekku sudah meninggal dunia dan semoga mereka ditempatkan pada tempat yang sebaik-baiknya oleh Allah Swt. Susah, senang, sedih, dan sakit semuanya kami lewati bersama. Hingga suatu waktu, selama beberapa bulan ibuku berhenti berdagang karena sedang mengandung. Seusai melahirkan ibuku kembali lagi berdagang.

Tubuhnya makin menyusut dari hari kehari. Rambutnya kini ditumbuhi uban dan matanya semakin dalam. Dia juga sering sakit, khusunya sakit kepala dan sakit badan. Kadang sakitnya itu dia hiraukan, dia memaksa menjemput rizki dengan tenaga seadanya, berkeliling kampung menawarkan pakaian.

Dan yang membuat aku makin sedih adalah sampai saat ini, aku belum bisa berbuat apa-apa. Tak pernah dia menangis bahagia akan perbuatanku. Malah aku sering membuatnya sedih. Pernah air matanya bercucuran karena kelakuan busukku. Hanya saja, ketika aku sudah sadar, aku sering membawanya dalam doa seusai shalat. Aku ingin ibu melihat ku sukses, karena itu yang sering dia ucapkan ketika aku pulang, semoga sukses, jangan lupa sama ibu. Dan aku berjuang mewujudkan itu semoga Allah mempermudah. Harapanku,  semoga ibu bisa rehat suatu hari nanti, tak menajajakan baju lagi ke segala kampung. Karena kau tahu, dia semakin tua dan aku tak kuasa menahan tangis ketika dia terluka. Dan juga aku berharap Ibu bisa menangis sekali lagi karena bangga punya anak sepertiku.

Dokumentasi Pribadi

Selamat hari Ibu
Jasa dan kasihmu tak akan pernah terbalas sepanjang masa

Hari ulang tahun ibuku: 4-Mei-1973

Note:
1Pepeur = Bengkak, biasanya salah urat
2Mingonan = Shalawatan
3buruan = Lapangan
4Uwa = Kakak Bapa
5Baju Dulag = Baju Baru

Sunday, December 21, 2014

Efek Negatif Begadang


Kurang tidur adalah aktivitas yang hampir setiap orang pernah merasakannya. Kurang tidur disebabkan oleh begadang. Begadang adalah pengurangan porsi tidur untuk digunakan aktivitas lain seperti mengerjakan tugas kuliah/kantor atau hanya nonton bola atau main game.

Bila hanya begadang sesekali mungkin tidak akan terasa perubahan pada tubuh. Bila begadang dilakukan secara berkala maka efek negatif baru dapat dirasakan. Sayangnya, hampir setiap orang mengabaikannya, termasuk saya, Mahasiswa. Efek Negatif begadang sama bahaya dengan terlalu banyak tidur  dan tidur pagi .

Berikut adalah beberapa efek negatif begadang, adalah:

1.       Daya Tahan Tubuh Melemah

Kurang tidur dapat menyebabkan imun tubuh turun. Akibatnya daya tahan tubuh melemah. Penyakit yang biasanya menyerang adalah flu dan batuk. Selain itu, dapat mengakibatkan konsentrasi kabur saat belajar atau bekerja.

2.       Tampak Lebih Tua

Kurang tidur menyebabkan muka terlihat lebih kusut dan mempunyai gurat mata yang jelas. Menurut Jyotsna Sahni, MD, ahli masalah tidur di Canyon Ranch, Tucson, bahwa hal ini diakibatkan oleh peningkatan kadar korlistrol yang dapat memperlambat produksi kolagen. Kolagen adalah zat tubuh yang mempengaruhi kencang kendurnya kulit.

3.       Resiko Terserang Kanker Lebih Besar

Para ahli jepang talah melakukan penelitian dan membuktikan bahwa orang yang kurang tidur memproduksi hormon melatonin berkurang, yang mana hormon melatonin ini berpengaruh kepada besar kecilnya serangan kanker.

4.       Diabetes

Hal ini dipengaruhi oleh resistensi insulin yang tinggi dala tubuh karena kurangnya tidur. Dengan kata lain orang yang sering begadang mempunyai resistensi insulin yand tinggi. Jika insulin tidak semuanya digunakan tubuh maka resiko terserang diabetes pun meningkat.

5.       Stroke

Menurut penelitian orang yang kurang tidur akan mempunyai resiko sroke empat kali lebih tinggi.

6.       Naiknya Nafsu Makan

Kurangnya tidur disadari atau tidak dapat menyebabkan obesitas yang dipengaruhi hormon leptin. Leptin adalah hormon yang bisa menekan nafsu makan. Kurangnya hormon leptin dapat meningkatkan nafsu makan menjadi tinggi. Kekurangan hormon leptin ini biasanya diderita oleh orang yang kurang tidur. Disisi lain kegemukan/obesitas juga menyebabkan resiko diabetes menjadi tinggi.

Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh University of Washington. Mereka menyatakan orang yang tidur 7-9 jam setiap malam, rata-rata indeks massa tubuh 24,8, hampir 2 poin lebih rendah daripada rata-rata Body Mass Index (BMI) mereka yang kurang tidur.

7.       Strees

Kekurang tidur dapat menyebabkan stress, yang disebabkan oleh meningkatnya hormon kortisol atau sering disebut dengan hormon strees. Pernyataan ini hasil penelitian Universitas Chicago. Dan sebenarnya mempunyai hubungan erat dengan hormon insulin, yang memcu diabeters. Selain itu dapat menimbulkan rasa resah karena tidur berkualitas buruk, yang tidak semestinya.



Saturday, December 20, 2014

Menilai Orang Lain


“Kalau nilai teman sekelompok kamu berapa?”

Ucapku pilu. Bagaimana aku bisa menilai sedangkan kontribusi pada kelompok saja sedikit. Bagaimana bila yang nilai yang aku kasih ini kecil. Bagaimana kalau mereka mendapatkan nilai jelek akibat dari nilaiku. Aku gamang menatap muka dosen yang mewawancaraiku dalam sebuah tema: UAS.

“rentang nilainya dari 1-5. 1 nilai yang paling rendah dan 5 nilai yang paling tinggi. Silahkan kasih berapa dari keempat teman kamu?”

Jantungku makin berdetak hebat. Hatiku gamang dan aku menghela nafas beberapa kali. Keputusan yang sulit kuucapkan. Bukankah kita selalu bersama dalam mengerjakan laporan? Bukankah kita menyantroni bersama tempat-tempat sebagai sample penelitian? Bukankah jobdesk-nya sudah jelas?

*****

Tak lama, sepuluh menit kemudian aku keluar ruangan dengan rasa bimbang. Ketakutan semakin menyeruak kala aku mengingat kejadian di ruangan kecil yang bersekat: ruangan dosen. Iya, Uas itu bukan di kelas tapi diruangan dosen pengampu. Beberapa orang mengantri dan termangu membaca buku rujukan SPAI. Mereka mencoba menalar dan beberapa orang, temanku itu, bertanya kepada temanku yang lain, yang sudah keluar ruangan. Mungkin mereka gusar takut dengan pertanyaan yang dosen ajukan.

Kemudian aku termenung pada layar putih: Notebook. Kupandang lekat, hanya imaginasi dari setiap kenangan yang tergambar jelas dalam benak. Kenangan bagaimana kami susah payah dengan modal banyak menyelesaikan sebuah laporan, yang itu mendapatkan nilai baik atau buruk.

Pada akhirnya, aku hanya berserah pada Sang Kuasa. Aku hanya menjawab dengan jujur, dengan yang aku rasakan, dan dengan segala yang aku kerjakan. Biarlah waktu menjawab. Kita hanya bisa pasrah dan berserah, karena Allah tak mungkin bohong dengan ganjaran atas semua pekerjaan yang telah kita lakukan.

Referensi Gambar: 


Peran Seorang Guru


Hari ini, saya mengambil artikel Jumat berjudul “Peran Seorang Guru” yang ditulis oleh Prof. Dr. H. Sofyan Sauri, M.pd. Isi dari artikel itu bercerita mengenai apa itu guru dan bagaimana guru pada zaman Rasullulah dan kejayaan Islam. Setidaknya ada tiga macam arti kata guru dalam islam, yaitu murrabi, mu’alim, dan mu’addib. Kata murrabi mempunyai arti pemeliharan baik fisik maupun spiritualitas. Mu’alim adalah kata lain dari makna pengajaran. Sedangkan mu’adib adalah prilaku yang dibentuk (karakter).

Dalam artikel ini juga dijelaskan, kurang lebih, bahwa guru haruslah menyadarkan dan mendekatkan peserta didik kepada Allah Swt, tidak hanya aspek pengetahuan saja yang dibagun tapi aspek akhlak dan keterampilan juga perlu diperhatikan.

Keutamaan seorang guru dijelaskan dalam ayat Al-Quran yang berbunyi:
“Dialah yang telah mengutus seorag rasul dari kalangan mereka ke tengah umat yang ummi yang membacakan kepada mereka tentang kitab dan hikamah padahal mereka sebeumnya ada pada kesesatan yang nyata”

Rujukan utama pendidikan islam adalah pada zaman nabi. Ketika nabi dengan luar biasa mengubah kebiasaan masyarakat jahiliyah arab menjadi masyrakat yang cerdas dan berfikir cemerlang. Nabi adalah guru dari segala guru: Maha guru. Tentu menjadi teladan kita sebgai umatnya, apalagi yang menempuh kuliah di bidang pendidikan atau yang bercita-cita menjadi pendidik.

Hal tersebut disokong dengan pernyataan seorang ahli pendidikan An-Nahlaui yang menjelaskan mengenai sifat seorang guru. Pertama, harus Rabbani. Kedua, harus mensempurnakan sifat Rabbaniyah. Ketiga, mengajarkan ilmu dengan sabar. Keempat, memiliki kejujuran. Kelima, harus berpengetahuan luas. Keenam, harus cerdik dan terampil. Ketujuh, harus mampu bersikap tegas. Kedelapan, harus memahami sikap anak didik. Kesembilan, harus peka terhadap realitas kehidupan. Kesepuluh dan terakhir, harus bersikap adil.

Sepintas memang artikel ini bagus dan sangat baik, mengajarkan kita bagaimana kita berprilaku sesuai dengan Rasulullah. Namun ada yang mengganjal dihati saya ketika semua sikap yang harus dimiliki guru itu harus dimiliki oleh guru sekarang. Apalagi harus mencakup tiga aspek murrabi, mu’alim, dan mu’addib, yang bila dipikirkan kemudian dikaitkan dengan realitas saat ini, maka sangat jauh. Walaupun tentu kita harus optimis.

Artikel ini menurut saya hanya menjelaskan perkara cabang saja, yaitu buah saja. sehrusnya yang menjadi sorotan adalah pola atau sistem yang bagaimana membentuk model guru seperti ini. Kita tentu mengindra fakta. Ketika pendidikan kita ingin memunculkan manusia yang berkualitas dan pemimpin peradaban, maka jalur yang ditempuh harus sama dengan apa yang dijalankan Rasul. Beda jalan pasti beda hasil apalagi dengan menggunakan cara-cara yang tidak Islami. Bagaimana kita mengharapkan para pemikir ulung seorang mujahid apabila pendidikan yang diterapkan adalah pendidikan sekuler? Hal ini bagai mimpi disiang bolong.

Pembenahan yang harus dilakukan, yang paling urgen menurut saya, bukan seperti apa guru yang bagus dan berakhlak. Tapi bagaimana cara membuat sistem yang baik sesuai dengan tuntutan Rasulullah dan didasarkan pada akidah islam yang benar melalui AL-Quran dan Hadis. Hal ini tentu harus ada penjabaran lebih lanjut mengenai sistem pendidikan yang islami, karena toh Al-Quran dan Hadis hanya sebagai pondasi dasarnya saja, sedangkan bangunannya harus dirancang oleh orang yang mengerti.

Untuk kita selaku generasi muda jangan takut dan gentar mempelajari Islam. Bukakah kita sudah mengazamkan diri akan masuk kepada islam? Dan bukankah masuk pada islam itu jangan setengah-setengah?

Memang saya tidak menafikan, ada saja orang yang hebat lahir dari pendidikan yang kurang tertata dan mendekati bobrok, namun jumlahnya sedikit, apalagi yang mengerti tentang islam. Sangat sulit ditemukan. Jadi, jangan sampai kita bermimpi disiang bolong, karena hdiup ini terikat dengan kaidah kausalitas. Jika A maka B. Begitu pula, jika kita menerapkan pendidikan sekuler seperti saat ini, maka output yang dihasilkan akan sekuler juga. Jika kita menerapkan pendidikan seperti zaman Rasul maka output yangdihasilkan seperti zaman Rasul juga, termasuk guru.
Jumat, 19/12/2014

Friday, December 19, 2014

Suka Benci "Sekularisme"


Secara harfiah sekuler diartikan sebagai pemisahan agama dengan kehiidupan (Faasludin anil Hayat). Pemahaman sekuler muncul bersamaan dengan revolusi Prancis dan Inggris serta negara Eropa lain. Kondisi ini akibat pengekangan pihak gereja saat abad pertengahan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, sebut saja Claudius Ptomeleus yang dihukum gantung karena mengemukakan teori geosentris atau Galileo Galileo yang dibakar karena menyebut bumi bulat.

Pemahan sekuler nyatanya telah membawa masyarakat Eropa pada peradaban gemilang. Penjauhan kitab suci terhadap kehidupan menjadikan kezumudan berpikir masyrakat Eropa hilang. Mereka bebas bereksperi dalam segala bidang baik sains maupun seni. Bahkan adab masyarakat Eropa pun berubah drastis. Karakter orang Eropa menjadi sangat Individualis. Ditambah dengan beberapa teori yang mendukung kesekuleran ini, seperti Darwinisme.

Pengajaran akan sekularisme ini dibuka melalui gerbang pendidikan. Cirinya pengajaran agama dipisahkan dengan pengjaran ilmu pengetahuan. Bahkan dibeberapa sekolah Eropa tidak ada pengajaran agama, karena dianggap sebagai masalah individu saja, bukan masalah masyarakat apalagi Negara.

Pemahaman ini pun berkembang ke wilayah lain, seperti Amerika, Asia Timur, dan Australia. Kemudian masuk Dunia Islam lewat pengadopsian pendidikan ala Eropa—kurikulum. Jika diruntut melalui sejarah, saat akhir pemerintahan Khilafah Utsmani pada abad sembilan belas ke duapuluh telah masuk pemahaman ini.  Hal ini diakibatkan para pemimpin Turki termasuk Sultan Abdul Hamid II silau dengan kemajuan Eropa. Padahal secara tidak langsung meruntuhkan Khilafah itu sendiri di kemudian hari. Salah satu Syaikh Turki yang mengkritik tajam pendidikan Turki Utsmani saat itu, Baiduzzaman said  Nursi mengatakan, “Turki Utsmani telah mengandung janin Eropa yang sebentar lagi tumbuh”. Pada 3 Maret 1924, peristiwa itu terjadi, yaitu runtuhnya sistem islam—khilafah—oleh Young Turk yang dimotori oleh Mustafa Kemal Attaturk. Dia adalah salah satu mantan tentara dan berdarah Yahudi serta lalim dalam agama. Hingga saat ini, Turki masih mengadopsi sistem pendidikan sekuler dan kita bisa lihat, kebangkitan tidak terjadi di masyrakat Turki. Malah menjadi Negara Preferi Eropa. Ironi.

Begitu pun dengan kita, Indonesia. Pendidikan yang konon katanya sebagai solusi untuk memperbaiki nasib bangsa, dan kita tahu sendiri para akademi atau siapapaun yang sadar benci dengan sekularisme. Tapi yang diherankan, kenapa kita selalu mengacu pada pendidikan luar, seperti Amerika dan Eropa? Padahal mereka bertabiat sekuler. Dunia pendidikan pun dihiasi dengan berbagai macam teori yang dinisbatkan dengan pendidikan ala barat. Ironi. Sekarang, dampaknya semakin nyata, bangsa tidak maju-maju, malah doa di sekolah pun mempunyai regulasi, mengekang. Pergerakan agama dimata-matai dan dipermasalahkan: Remaja Masjid/Rohis. Malah kita tabu berbicara agama dalam ilmu umum. Padahal agama tanpa ilmu pincang dan ilmu tanpa agama buta.

Pembudidayaan pendidikan sekuler yang telah muncul dari sejak merdekanya bangsa ini bagai menernak ular di sawah dengan banyak tikus. Mengembang dan tumbuh subur. Sampai pada kalanya mereka berani menghujat peraturan Tuhan dengan berbagai Teori dan Kebijakan. Dunia ilmu pengetahuan kontradiktif dengan ilmu agama. Berbagai teori sesat diajarkan pada bangsa ini, seperti Evolusi Darwin yang menganggap manusia dari Kera.

Kita tidak menyadari, bahwa kemunduran islam selama ini akibat menjauhnya umat islam, terkhusus bangsa ini dari Al-Qur’an. Perdana Inggris Pernah berkata “Kita tidak akan bisa menghancurkan islam selama umatnya tidak jauh dari Al-Quran, maka jauhkanlah mereka dengan Al-Quran”.


Hal ini harus dilakukan pembaharuan secara menyeluruh terhadap sistem yang ada. Pendidikan sebagai komoditi yang tak ternilai harganya harus direvitalisasi. Mungkin beberapa pihak juga sudah sadar, namun sulitnya referensi sistem pendidikan islam itu seperti apa dan bagaimana? Kemudian cara mencampurkan ilmu umum dan islam bagaimana? Inilah polemik dan menjadi tantangan kita. Kita harus berani belajar dari sejarah tanpa pilah-pilah. Kita harus berani mencari kebenaran seberapapun pahitnya. Semoga Allah mempermudah perjuangan orang-orang yang menegakan kebenaran, karena kita tahu, kebenaran tidaklah bermuka dua. Wallahualam bii shawab.

Hujan Lebat dan Pasar Bau


Ahhhhhh..... Hujan kang” mukanya kesal.
“Iya, tunggu aja we

Hujan mengguyur sore ini dan kami terjebak di kesumpekan pasar Gergerkalong. Atap yang keropos tak kuasa menahan air hujan: bocor. Dan menyeribat pada pakaian kami. Bau menyengat mengisi udara yang terbang, kemudian hinggap ke hidung kami. Air meluber berwarna hitam gelap pada jalan berdebu yang menyekat-nyekat pasar.

Beberpa orang telah sibuk menutup tokonya. Toko kelontongan itu terlihat lusuh, kucel, dan kurang trurus. Kami berdua berpindah-pindah dengan membawa dua dus air mineral. Air mineral itu rencananya kami gunakan untuk acara Kalam Fair, dan acaranya tepat sekarang, jam ini. Kami termangu melihat hujan yang mengguyur deras berangin.

Ironi, itulah yang terbersit dalam pundak. Pasar tradisional ini harus direnovasi, karena kalau tidak, pasar modern yang tak merakyat itu pasti akan membumi hanguskan pasar tradisional. Dan nyatanya sekarang sudah menjadi kenyataan. Masyarakat lebih suka berkunjung ke Alfamret dan Indomaret, daripada berkunjung pada tempat sumpek ini, termasuk kami.

Sudah hampir sejam kami menunggu dan langit masih belum sudi menghentikan tangisnya. Kami berdua membisu, saling menatap, dan berbicara sedikit. Tak ada tema yang ingin kami bicarakan. Kami hanya memikirkan keberlangsungan acara tanpa air minum. Pasti para peserta serek, karena snack mengganjal dikerongkongan. Kasian mereka.

Hujan berangsur sedikit demi sedikit, pelan. Walaupun kami bersyukur karena hujan masih mengguyur, bukankah hujan itu berkah? Kami tak ingin menolak berkah. Kadang, aku aneh dengan berkah ini—hujan. Karena ketika hujan banyak bencana terjadi. Baru saja longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah, tebak terjadi karena apa? Hujan. Banjir, ah, sudah tak aneh, hujan lagi yang disalahkan. Tak salah kalau dikatakan “berkah jadi musibah”. Mudah-mudahan kita sadar.

Kami memutuskan, kami menerobos hujan dengan masing-masing membawa satu dus air mineral. Berat. Sebelumnya, aku membeli minyak goreng, entah, kenapa aku membeli itu. Hanya sebab,  aku ingat pada kompor gas yang ada dikosan.

Motor dinyalakan. Helm yang lupa dibawa, menggantung dan banjir. anehnya, helm dipakai oleh temanku itu. dia terngengeh sedikit. Namun aku paham, karena motor tak ada tempat untuk helm; di depan sudah diisi oleh dus air mineral dan ditengah pun sama, dipegang oleh aku.

Hujan rintik-rintik membasahi baju kami. Dingin menembus kulit kami. Hanya beberapa menit kami sudah sampai di depan gerbang selatan UPI. Kartu penyimpanan motor kami ambil dari dua saptam tinggi besar yang berteduh pada bangunan triplek dan diletakan di tengah jalan.

Kami beriringan jalan setengah berlari, tergesa-gesa menuju PKM yang ada di dekat Taman Bareti. Aku merunduk melihat jalan. Rembut basah kuyup. Namun, hatiku berdesir ketika kutonggakan kepala, ketika dua mata bertemu beberapa detik. Mereka berdua dalam satu payung dan berjalan agak cepat, kami juga. Entah siapa namanya, namun kusadari ini hanya salah rasa, sebab aku mengumbar pandangan. Ini hanya salah, benar-benar salah. Cepat aku melupakannya, walau beberapa kali terbersit saat berjalan melewati tangga masjid.



PKM sudah di depan mata. Dengan tubuh basah kami melewati pintu. Acara sudah bubar dan kursi sudah dirapikan. Kami langsung menuju kantor—sekre—yang ada dilantai dua. Kunci gembok terbuka dengan beberapa kode rahasia. Sepatu dibuka, kami masuk, kemudian dus air meneral kami tumpuk. Salah satu dus pecah, karena tak kuasa menahan beban. Dan Adzan bersuara lantang terdengar dari Masjid Alfurqon. Kami bersiap, kemudian pergi. 

Note: Semi-fiksi